Surabaya – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur memaparkan ancaman ekologi sosial di Bromo Tengger Semeru bila ditetapkan menjadi Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Rere Christanto menjelaskan, sedikitnya ada tiga masalah di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) itu, yakni, kebencanaan, tata kelola, dan pengakuan perlindungan masyarakat hukum adat. Ancaman kebencanaan, dijelaskan, seperti kebakaran hutan dan longsor.
“Misalnya kebencanaan, perhatian anggaran untuk mitigasi bencana sangat minim, hanya 0,05 persen dari APBN dan 0,1 persen dari APBD, dengan anggaran yang begini kecil, mitigasi dan kesiapsiagaan bencana sulit dilakukan,” ungkap Rere.
Selain itu, Rere menjelaskan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional masih berkutat pada penataan infrastruktur kawasan pariwisata. Padahal status ekowisata dan Taman Nasional seharusnya tidak mendorong pada pariwisata massal, seperti yang terjadi di Bromo. “Justru mengancam kelestarian ekologi TN BTS,” tegasnya, Rabu (27/11).
Pihaknya juga menolak penyeragaman model pariwisata di berbagai daerah. Menurut dia, setiap tempat memiliki karakeristik yang unik dan harus melibatkan partisipasi warga. “Keberadaan masyarakat suku Tengger masih terabaikan,” lanjutnya.
Hal tersebut dibuktikan dengan pengakuan masyarakat hukum adat Suku Tengger yang belum sepenuhnya terlindungi. Akibatnya pada ancaman hilangnya identitas orang Tengger.
“Sampai saat ini, Provinsi Jawa Timur tidak memiliki Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat,” imbuh pegiat lingkungan hidup tersebut.
Untuk itu, ia mendesak agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat Tengger beserta hukum adatnya sebagai sumber perencanaan dan penatakelolaan kawasan Bromo Tengger Semeru.
“Termasuk, mengukuhkan hak atas tanah masyarakat untuk menghindari konflik teritorial yang bersifat laten,” katanya.