Hari Jumat, 25 Mei 2018, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Ada euforia bahwa UU yang baru ini bisa menjadi payung hukum dalam penanganan dan tindak pidana terorisme di Indonesia. Namun, penerapan penanganan korban dari aksi terorisme kurang disorot. Padahal, penanganan tindak terorisme dan penanganan korban merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Pembahasan UU dikebut setelah Presiden Joko Widodo mengancam akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) jika UU tentang Tindak Pidana Terorisme tak kunjung disahkan. Ancaman tersebut dikeluarkan Jokowi setelah Indonesia dikepung oleh serangkaian aksi teror berdarah, berawal dari insiden di Mako Brimob pada 10 Mei 2018.
Seperti diberitakan, tiga hari setelah kerusuhan di Mako Brimob, kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS menggelar aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Aksi tersebut kemudian disusul bom bunuh diri yang menyerang Mapolrestabes Surabaya. Di Pekanbaru, kelompok teroris menyerang petugas dengan menabrakkan sebuah mobil ke kantor Mapolda Riau.
Polda Jawa Timur mengonfirmasi jumlah korban tewas dalam teror bom di Surabaya dan Sidoarjo, 28 orang, baik terduga pelaku maupun warga. Korban tewas di tiga gereja 18 orang, di Rusunawa Wonocolo Sidoarjo tiga orang, dan korban tewas bom bunuh diri empat orang di Poltabes Surabaya.
Selain itu, tiga orang ditembak petugas saat penyergapan. Korban luka-luka, baik dari warga masyarakat maupun petugas, berjumlah 57 orang. Di antara korban luka ada juga anggota keluarga orang yang diduga menjadi pelaku pengeboman.
Ketua Pansus Revisi UU Terorisme, Muhammad Syafii, berharap UU tersebut nantinya bisa menjadi payung hukum bagi segenap aparat keamanan untuk memberantas tindak pidana terorisme. “Sebagai upaya untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,” ujar Syafii saat membacakan laporan akhir pansus di sidang paripurna.
Poin Perbaikan
Setidaknya ada 15 poin yang direvisi dalam UU Terorisme. Menurut Syafii, ke-15 poin itu termaktub dalam lima bab baru dalam UU Terorisme, yakni bab terkait pencegahan, bab terkait korban aksi terorisme, bab kelembagaan, bab pengawasan, dan bab tentang peran Tentara Nasional Indonesia (TNI). Khusus pencegahan, ada empat pasal baru yang ditambahkan, yakni pasal 43A, 43B, 43C, dan 43D.
Dalam UU No.15/2003, poin-poin yang tidak ada dalam penanganan korban tindak terorisme antara lain, tidak memberikan pengertian atau definisi mengenai korban tindak pidana terorisme. Dengan demikian, tidak diperoleh batasan ruang lingkup korban tindak pidana terorisme.
Poin lain, tidak ada sanksi bagi pelaku yang tidak mau menjalankan restitusi kepada korban. Tidak ada peraturan pemerintah atau pelaksana yang khusus mengatur mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban tindak pidana terorisme. Tidak mengatur secara khusus mengenai bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis terhadap korban tindak pidana terorisme.
Dalam UU Terorisme yang baru, ada beberapa poin yang ditambahkan dalam penanganan korban terorisme. Pertama, menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban tindak pidana terorisme secara komprehensif, mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, pemberian hak-hak korban yang semula dalam UU No.15/2003 hanya mengatur kompensasi dan restitusi saja.
Kedua, mengatur pemberian hak berupa bantuan medis rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban yang meninggal dunia, pemberian restitusi, dan pemberian kompensasi.
Ketiga, mengatur pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU Tindak Pidana Terorisme disahkan. Artinya, hak bagi para korban sejak bom Bali pertama sampai bom Thamrin.
Keempat, memasukkan ketentuan bahwa korban terorisme adalah tanggung jawab negara.
Kendala di Lapangan
Bila dibandingkan, ada poin-poin perbaikan penanganan korban tindak terorisme dalam undang-undang yang baru ini. Namun, penerapan dari poin-poin dari UU ini pada korban tindak terorisme sepertinya bakal menemukan kendala di lapangan.
Praktisi hukum Rani Hendriana dari Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, Jawa Tengah, memaparkan beberapa kendala. Pertama, kecenderungan dalam sistem peradilan pidana yang lebih berorientasi pada pembuktian daripada pemberian hak-hak korban sehingga korban baru memiliki nilai yang vital jika menjadi pelapor atau saksi tindak pidana terorisme.
Kedua, kurangnya komitmen pemerintah dan aparat penegak hukum dalam memberikan hak-hak korban. Hal ini seharusnya dapat dipahami dan disadari oleh pemerintah bahwa pembentukan undang-undang tindak pidana terorisme tidak terlepas dari keadaan yang mendesak sehingga cukup jauh dari kesempurnaan yuridis.
Minimnya pengaturan mengenai hak korban seharusnya dapat menjadi acuan pemerintah untuk dapat bertindak inisiatif dan proaktif dalam menggerakkan korban untuk memperjuangkan haknya sehingga dapat meminimalkan prosedur yang bersifat tidak efektif dan efisien bagi korban. Jadi, tak mengherankan bila korban cenderung lebih bergantung pada yayasan atau lembaga di luar pemerintah yang pernah membantu karena memberikan efek yang lebih mengena pada korban.
Ketiga, kurangnya sosialisasi secara masif baik dari pemerintah maupun aparat penegak hukum mengenai hak-hak korban, khususnya hak-hak korban dalam UU No.31/2014.
Keempat, kecenderungan yang telah membudaya bahwa perhatian pemerintah atau instansi terkait lainnya, aparat penegak hukum, masyarakat, kepada korban tindak pidana terorisme cenderung bersifat sesaat setelah tindak pidana terorisme terjadi.
Kelima, secara personal korban tindak pidana terorisme kurang mengetahui hak-haknya yang telah diatur dalam perundang-undangan. Terlebih ada sikap apatis korban dalam memperjuangkan haknya (kualitas kondisi ekonomi dan lingkungan sosial dimungkinkan turut dapat memengaruhinya).
Selama ini pemerintah menutup mata atas ketidaktahuan korban akan hak-haknya dan lebih menganggap bahwa masyarakat (termasuk korban) wajib dan telah mengetahui akan hukum pidana positif di Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah mesti membuat peraturan khusus dalam penanganan korban tindak terorisme agar mereka benar-benar dipastikan mendapatkan hak-haknya.
Jangan sampai undang-undang yang ada hanya memberikan perlindungan abstrak bagi para korban tindak terorisme serta belum mampu menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan.