Blitar – Meski hanya bersenjatakan bambu runcing, namun perjuangan Arek-arek Suroboyo dalam pertempuran 10 Nopember 1945 tak kalah dengan yang membawa senapan. Apa yang membuat Arek-arek Suroboyo percaya bahwa bambu runcing mampu menandingi persenjataan canggih tentara sekutu?
Karena para pejuang itu yakin ada doa selamat yang disematkan pada bambu runcing tersebut. Sebelum diberikan kepada para pejuang, bambu runcing itu telah diasmai (didoakan).
Adalah KH Mansyur yang mendoakan ratusan ribu bambu runcing sebelum dikirim ke Surabaya. KH Mansyur adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fattah yang ada di di Desa Kalipucang, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar
“Kiai Mansyur adalah kiai pengisi atau penyepuh granggang (bambu runcing). Granggang itu nantinya akan dibawa tentara Hizbullah dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk dibawa ke Surabaya,” ujar KH Hisyam, anak dari KH Mansyur saat berbincang dengan detikcom, Jumat (27/10/2017).
Hisyam mengatakan bambu itu diambil para santri dari tegalan sekitar surau. Setelah diruncingkan, bambu lalu lalu diolesi cairan di ujungnya yang lancip.
Konon, cairan tersebut ada yang mengatakan sejenis racun atau oli yang sudah diasmai sang Kyai. Lalu dibakar sampai berwarna kehitaman diujungnya.
Baca juga: Bambu Runcing Pertempuran 10 November Ternyata Dipasok dari Blitar
Ribuan bambu itu lalu diangkut menggunakan kereta api untuk dikirim menuju Surabaya. KH Mansyur dikenal sebagai penyempuh atau pengisi kekuatan bambu runcing. Tak hanya itu, KH Mansyur juga membuat senjata lain untuk para pejuang seperti sumpit, bambu runcing, dan juga ketapel.
Pembuatan bambu runcing dilakukan sang Kiai bersama dua putranya yakni Kiai Masruri dan Kiai Mashudi. Kehebatan bambu runcing hasil sepuhan KH Mansyur sangat terkenal waktu itu. Bahkan, jika ada orang yang tanpa ‘izin’ memperlakukan seenaknya bambu runcing yang sudah disepuh, akan langsung mendapat ganjaran.
“Pernah suatu saat bambu mau dikirim sudah dalam keadaan terikat. Ada seorang satri berjalan melangkahi ikatan bambu runcing itu. Tiba-tiba tubuhnya seperti didorong dari belakang hingga jatuh terjungkal ,” papar seorang menantu dari santri kesayangan KH Mansyur, Abu Sujak (77) ditemui di rumahnya.
Abu Sujak juga cerita, suatu ketika bambu runcing yang seharusnya tidak dikirim ke Surabaya malah terbawa kereta api ke sana. Sampai di Malang, tak seorangpun yang kuat mengangkat ikatan bambu runcing itu.
“Terbawa sampai di Malang. Karena keampuhan bambu runcing, gak ada yang kuat angkat, akhirnya dikirim balik ke Blitar. Sampai sini ya hanya santrinya Kiai Mansyur yang kuat angkat dibawa balik ke pondok ,” ucap Abu.
“Bahkan disaat genting-gentingnya perang di Surabaya itu, Bung Tomo sempat ke Kalipucung, ke Kiai Mansyur untuk minta doa restu ,” paparnya.
Kiai Mansyur lahir di Blitar pada tahun 1880. Beliau anak dari Syeh Abu Mansur atau Kiai Thoya. Sedangkan Syeh Abu Mansur masih merupakan keturunan dari kakak tertua Sultan Hamengkubuwono I, yakni KH. Nur Iman Mlangi. Syeh Abu Mansyur bermukim di Kuningan Kanigoro Blitar guna meneruskan perjuangan Pangeran Diponegoro di Jawa Timur.
Syekh Abu Mansyur termasuk pengikut utama Pangeran Diponegoro karena salah satu kakek dari Syeh Abu Mansyur yang biasa dipanggil Mbah Syahid adalah guru spiritual Pangeran Diponegoro. KH Mansyur meninggal di Blitar pada tahun 1964 dan dimakamkan di depan pondok pesantrennya.
(iwd/iwd)