Perhelatan reuni akbar umat Islam pada tanggal 2 Desember meninggalkan berbagai kontroversi. Menariknya, kontroversi itu punya nuansa yang serupa bila melihat rilis hasil survei milik Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny J.A. Dalam survei itu dijabarkan isu atau program populer dua pasangan calon presiden dan wakil presiden selama dua bulan terakhir masa kampanye.
Hasilnya, ada 11 isu positif untuk Jokowi, dan 3 isu positif untuk Prabowo Subianto. Apa keterkaitannya dengan acara keagamaan yang populer dikenal sebagai Reuni 212, yang digelar Minggu (2/12/2018)? Survei itu menunjukkan adanya beberapa blunder yang dilakukan Prabowo. Usai Reuni 212, banyak pengamat menyatakan bahwa Prabowo telah melakukan blunder yang lumayan memberatkan, dengan menyebut bahwa peserta acara mencapai 11 juta orang.
Padahal, jumlah penduduk DKI saja tak mencapai angka tersebut. Dalam survei disebutkan, berdasarkan peringkat, isu positif yang mempunyai efek elektoral ke Jokowi adalah turun langsung mengunjungi dan memberikan bantuan hingga Rp 2 miliar kepada korban gempa di Lombok dan Palu, suksesnya penyelenggaraan Asian Games 2018 di Jakarta, berita bohong Ratna Sarumpaet, ucapan Prabowo soal tampang Boyolali, penyelenggaraan rapat tahunan IMF, isu soal The New Prabowo, janji Prabowo tidak akan impor, Yusril Ihza Mahendra menjadi pengacara tim Jokowi-Maruf, dan pernyataan tentang politikus sontoloyo.
Sementara itu, isu positif yang berdampak elektoral terhadap Prabowo adalah kunjungannya ke korban gempa Lombok, pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan isu nilai tukar rupiah terhadap dolar yang mencapai Rp 15 ribu.
Lalu, bagaimana bisa isu jumlah peserta Reuni 212 jadi antitesis Prabowo? Apakah sebagai politisi senior dirinya tidak bisa menyaring informasi yang masuk hingga meninggalkan segala akal sehat dan logika? Atau ini merupakan kesengajaan, untuk membuat elektabilitas dirinya terpuruk?
Sebagaimana diketahui, Prabowo mempersoalkan minimnya liputan media usai penyelenggaraan Reuni 212. Menurut Prabowo, media mainstream telah melakukan hal yang bertentangan dengan tugas jurnalisme: tidak meliput acara yang dihadiri 11 juta orang. “Beberapa hari lalu ada acara besar di Monas, yang hadir jutaan orang, tetapi banyak media di Indonesia tidak melihatnya,” ujar Prabowo saat berpidato pada acara peringatan Hari Disabilitas Internasional di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (5/12/2018). “Mereka mau mengatakan yang 11 juta itu hanya 15.000 orang.”
Prabowo tidak menjelaskan dari mana angka 11 juta tersebut. Ia juga tidak menyebut identitas media yang dimaksud. Di sisi lain, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Ibu Kota pada 2017 mencapai 10,37 juta jiwa. Jika mengacu klaim Prabowo, jumlah peserta Reuni 212 yang ada di Monas, beberapa hari lalu, lebih banyak daripada jumlah penduduk DKI Jakarta secara keseluruhan jika dikumpulkan di satu titik. Peserta Reuni 212 itu memang datang dari berbagai daerah.
Mereka berbondong-bondong ke Monas, tetapi tidak diketahui pasti jumlah sebenarnya peserta yang hadir. Menurut banyak pihak yang pro, jumlah peserta Reuni 212 yang digelar pada Minggu (2/12/2018) tetap mencapai jutaan orang, tetapi dengan jumlah yang lebih sedikit, yakni sekitar 3-5 juta. Menurut teori tata ruang yang ada, dalam kondisi orang yang tak begitu bertumpuk di jalan, jumlahnya adalah 193.244, bila dalam keadaan padat dan amat padat 429.431, bila kerumunan amat padat 772.976 orang.
Mari gunakan asumsi 6-8 orang berdiri setiap 1 meter persegi. Dengan asumsi itu, jumlah peserta Reuni 212 bisa mencapai 1.077.156 hingga 1.436.208 orang. Angka 6-8 orang per 1 meter persegi setara kepadatan jamaah haji yang sedang tawaf di Masjidil Haram. Mereka biasanya berjalan desak-desakan, sesuatu yang tidak tampak dalam Reuni 212. Jika pernyataan Prabowo itu jauh dari penalaran logika, apakah dirinya sengaja melakukan blunder?
Tak pelak publik pun diingatkan kasus beberapa waktu sebelumnya. Ketika itu, Prabowo mengklaim, telah membatalkan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, yang dijadwalkan akan dilangsungkan di kediaman mantan Presiden ke-6 itu di bilangan Kuningan, Jakarta. Namun, politikus Andi Arief melalui akun twitter pribadinya menyebutkan bahwa justru Partai Demokrat yang menolak kehadiran Prabowo.
“Prabowo ternyata kardus, malam ini kami menolak kedatangannya ke Kuningan. Bahkan keinginan dia menjelaskan lewat surat sudah tak perlu lagi. Prabowo lebih menghargai uang ketimbang perjuangan. Jenderal kardus,” tulis Andi Arief melalui akun twitter @AndiArief, Kamis (8/8).
Dalam kicauan selanjutnya, Andi mengaku semakin ragu dengan gelegar suara Prabowo sama dengan mentalnya. “Dia bukan strong leader, dia chicken.” Andi mengatakan, jika ada operasi menjadikan Jokowi calon tunggal, bila tidak berhasil, langkah selanjutnya menunjuk wakil Prabowo yang lemah dengan memanfaatkan kesulitan logistik Prabowo. Andi pun mengibaratkan permainan politik ini bak pengaturan skor dalam permainan sepakbola. “Capres yang takut karena ancaman partai tertentu lalu takluk, pasti kalau teriak antiasing cuma hiasan di bibir,” kata Andi.
Yang menarik adalah, dalam sebuah kesempatan Prabowo pernah menyinggung tentang kondisi koalisinya yang tak punya cukup dana, saat memberikan sambutan di acara pembekalan bakal caleg PAN. Prabowo pun memberikan semangat kepada koalisinya meski tak memiliki dana sebesar petahana. Ia mengaku tetap yakin bisa menang karena rakyat akan memilihnya.
“Tadi sudah disinggung, kita tidak punya banyak resources, kita tidak punya uang sebanyak mereka (kubu petahana). Kalau sedikit-sedikit adalah. Sedikit,” ujar Prabowo di Grand Paragon, Jakarta Barat, Minggu (16/9/2018). Kondisi tak punya uang ini pun seolah diperkuat dengan yang dilakukan calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Salahuddin Uno. Pria yang akrab dipanggil Sandi ini terpantau sudah beberapa kali menjual kepemilikan sahamnya di PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG).
Total, pria yang akrab disapa Sandi itu, sudah melego saham SRTG hingga lebih dari setengah triliun rupiah. Rentetan aksi jual saham SRTG yang dilakukan Sandi pertama dilakukan pada awal Oktober 2018. Kala itu Sandi melepas sebanyak 51.400.000 lembar saham SRTG di harga Rp 3.776, nilai transaksinya mencapai Rp 194,08 miliar. Dia menjual saham SRTG dalam dua kali transaksi. Transaksi pertama dilakukan pada 2 Oktober 2018 dengan menjual 12.000.000 lembar saham dan 3 Oktober 2018 sebanyak 39.400.000.
Kemudian dia juga melepas saham SRTG pada 8 Oktober 2018 sebanyak 28 juta lembar di harga Rp 3.776 dan 9 Oktober 2018 sebanyak 2,1 juta lembar saham di level Rp 3.802. Total nilai transaksi di dua hari itu mencapai Rp 113,7 miliar. Sandiaga melaporkan empat kali transaksi penjualan saham dari kurun waktu 27 November 2018 hingga 4 Desember 2018. Total jumlah saham yang dilepas Sandiaga tercatat mencapai 41,8 juta saham. Dari empat kali transaksi tersebut harga jual setiap transaksi Rp 3.776 per saham.
Artinya, Sandiaga mendapatkan dana Rp 157,84 miliar. Total dalam kurun waktu sekitar dua bulan, Sandi sudah mengantongi dan dari hasil menjual saham SRTG sebanyak Rp 503,38 miliar. Seiring dengan itu, jumlah kepemilikan Sandi di saham SRTG kian susut dan kini tinggal 630.815.429 lembar saham atau sekitar 23,2519%.
Namun, dari persepsi ketidakberpunyaan yang dimunculkan Prabowo-Sandi, mencuat fakta menarik: sumber pendanaan yang dimiliki Sandiaga sangat besar.
Bayangkan saja, nilai Rp 500 miliar didapatkan dengan hanya menjual 42 juta lembar saham, sedangkan Sandi masih punya 600 juta lebih lembar saham! Apakah taktik blunder itu berkaitan dengan strategi penjualan saham Sandiaga? Hanya kubu merekalah yang mengetahui kepastiannya.