Surabaya – Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sudah seharusnya memiliki tanggung jawab internasional dalam mengamankan aliran laut kepulauan Indonesia. Karena itu, diperlukan sinergi dengan berbagai pihak untuk memaksimalkan teknologi pengawasan di perairan. Universitas menjadi salah satu bagian di dalamnya yang dapat berkontribusi untuk melakukan kajian di bidang akademis.
“Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki tanggung jawab internasional untuk mengamankan aliran laut kepulauan Indonesia. Hal ini karena ada
potensi kerawanan di beberapa wilayah perairan Indonesia, padahal potensi laut kita sangat kaya,” ujar Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, Brigjen Pol Abdul Gofhur saat memberikan kuliah tamu dengan tema Sinergitas Antar Lembaga dalam Penguatan Poros Maritim di Institut Sepuluh November (ITS) Surabaya, Kamis (19/10/2017).
Karena itu, menurut Abdul, berdasarkan Undang-undang nomor 32 tahun 2008 dan Peraturan Presiden tahun 2004, leading sector keamanan laut sudah seharusnya memiliki lembaga yang bisa menyinergikan semua penegakan tugas keamanan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan laut.
“Bukan mengambil alih, tapi menyinergikan, karena laut kita harus aman, keselamatan navigasi perjalanan dan kelestariannya harus diperhatikan,” tuturnya.
Untuk itu, diperlukan suatu teknologi nasional yang dapat mengawasi perairan Indonesia secara lebih efektif. “Tidak zaman lagi sekarang patroli konvensional. Itu menghabiskan BBM ratusan miliar. Sekarang yang menjadi konsen kita seharusnya adalah bagaimana teknologi nasional digunakan untuk pengawasan di perairan Indonesia,” tambahnya.
Teknologi yang dimaksud antara lain dapat membuat mapping potensi kerawanan, kajian tentang luas wilayah terkait dengan berapa jumlah kapal atau personil yang harus dimiliki. Untuk itu, universitas menjadi salah satu lembaga yang diyakini perlu bersinergi bersama, terutama dalam hal kajian akademis terkait kemaritiman.
Untuk itu, Bakamla juga telah melakukan penandatanganan MoU dengan ITS untuk sinergi terkait teknologi pengawasan di laut. “Ini bisa berupa kajian desain kapal, mapping potensi kerawanan di wilayah laut Indonesia dan ke depan bisa semakin berkembang kajian-kajian seperti jumlah rasional personel di kepulauan yang sangat banyak ini. Karena sekarang saja, personil Bakamla hanya sekitar 700 orang, sementara pulau kita jumlahnya lebih dari 17.000,” katanya.
Rektor ITS, Prof. Ir. Joni Hermana, M. Sc. ES, PhD., mengatakan, pihaknya sangat mendukung kerjasama ini. Bahkan, jauh sebelum penandatanganan tersebut dilakukan, ITS sudah pernah melakukan beberapa kerjasama personal dengan Bakamla dalam bidang kemaritiman.
“Sebelumnya dosen-dosen kami sudah sering melakukan kerjasama personal. Yang terakhir itu tentang audit dan assesment kapal patroli 110 Bakamla,” ujarnya.
Joni mengatakan, selain dalam rangka mendukung keefektifitasan Bakamla, kerja sama ini juga menjadi peluang bagi kampusnya untuk mengembangkan kajian di bidang kelautan.
“Sejak awal ITS didirikan, Bung Karno sudah memberikan PR bagi kami untuk mengembangkan kompetensi di bidang kelautan, terutama terkait keamanan, keselamatan, kedaulatan, bencana dan lingkungan laut yang selama ini tidak bisa dimonitor dengan baik,” katanya.
Joni mengatakan, untuk langkah selanjutnya, pihaknya akan melakukan mapping terkait prioritas apa yang harus dilakukan.
“Nanti akan dibentuk tim yang terdiri dari dosen dan mahasiswa untuk melakukan pengkajian,” pungkasnya.
(iwd/iwd)