Sebuah artikel dari Bloomberg.com memberi gambaran cukup ngeri terkait dampak gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Lombok (Nusa Tenggara Barat) serta Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Dikatakan, bahwa bencana yang paling merusak di Indonesia sejak 2009 itu memberi dampak pada upaya pemerintah Presiden Joko Widodo dalam mempertahankan kinerja ekonomi nan stabil. Apalagi, mata uang rupiah terus tergelincir hingga menembus angka psikologis Rp 15.000.
Bencana telah membuat pemerintah harus menganggarkan dana yang cukup besar bagi program pemulihan. Di tengah turbulensi rupiah seperti sekarang, bagi banyak analis ekonomi global, kondisi tersebut bukan sesuatu yang diinginkan. Apalagi Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengakui bahwa negara harus mengalokasikan dana sebesar Rp 22 triliun bagi penanganan bencana setiap tahun.
Dalam artikel Bloomberg tersebut juga dikatakan bahwa perekonomian terbesar di Asia Tenggara telah menjadi salah satu yang terpukul paling parah di kawasan itu menyusul penjualan di pasar negara berkembang global yang dipicu oleh kenaikan suku bunga AS. Nilai rupiah telah merosot 9 persen terhadap dolar AS tahun ini.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga lima kali sejak pertengahan Mei lalu. Tujuannya untuk melindungi mata uang negara bahkan ketika ekonomi terus berkinerja buruk oleh standar Indonesia dan gagal mencapai target pertumbuhan 7 persen yang dicanangkan pemerintah.
Di tengah kerepotan seperti sekarang, transmisi bahaya susulan pun bersiap untuk menghantam. Serangkaian bencana yang mendera berpotensi untuk memukul telak sektor pariwisata Indonesia. Padahal di tengah kondisi pasar ekspor yang tengah melesu akibat perang dagang AS-Cina, sektor pariwisata diandalkan untuk memasok devisa segar ke sistem perekonomian negara.
Meskipun terjadi bencana alam dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia terus menjadi daya tarik pariwisata, dengan pengunjung mencapai 14 juta pada 2017, naik 22 persen dari 2016, menurut Kementerian Pariwisata. Penghasilan devisa dari wisatawan diperkirakan mencapai US$ 20 miliar tahun ini, naik dari US$ 15 miliar tahun lalu.
Namun, sampai saat ini kementerian terkait belum mengeluarkan assessment apa pun terkait dengan dampak bencana yang kian menghebat bagi sektor pariwisata hingga akhir 2018. Padahal, sebagaimana dituliskan dalam artikel Bloomberg tersebut, kemampuan Indonesia untuk mampu membukukan pertumbuhan hingga di atas 5 persen tak terlepas dari sektor pariwisata yang masih moncer.
Kontribusi ini berpeluang melemah karena jika melihat tren pemberitaan media terkini menunjukkan bahwa penyebaran ketakutan akibat bencana susulan di berbagai daerah makin meningkat. Terutama terkait ancaman efek domino dari pergeseran lapisan bumi yang mengaitkan daerah bencana dengan daerah yang saat ini masih aman-aman saja.
Benarkah seperti itu? Pada Maret 2018 muncul artikel yang menyebutkan bahwa Jakarta berpotensi diguncang gempa besar dari megathrust, bahkan hingga lebih dari 8 Skala Richter (SR). Para pakar menyebut potensi tersebut berasal dari zona kegempaan atau seismic gap yang ada di sekitar Jakarta.
“Kekuatannya masih jadi perdebatan di antara para pakar. Diperkirakan antara 8,1 SR hingga 9 SR,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, kepada BBC Indonesia, Jumat (02/03/2018).
Dua gempa terakhir yang terjadi di Jakarta pada Januari 2018 sempat membikin panik warga karena guncangan hebat. Gempa berkekuatan 6,1 SR tersebut berpusat di Samudera Hindia, 61 kilometer dari Lebak, Banten.
Menurut Dwikorita, sumber gempa besar yang mengancam Jakarta berasal dari patahan lempeng yang berada di Selat Sunda, yakni antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. “Posisinya tepat di bawah Pulau Jawa dan Sumatera. Sekitar 300 kilometer dari Jakarta,” kata Dwikorita yang juga mantan rektor UGM ini.
Tak hanya Jakarta, beberapa kota lain juga terancam. Para ahli menyatakan bahwa Kota Bandung potensial “dihampiri” bencana yang tak kalah menakutkan. Kondisi Bandung terkini bahkan disamakan dengan Mexico City ketika terjadi gempa pada tahun 80-an.
Kota wisata berhawa sejuk itu punya sesar atau patahan Lembang di utara kota yang pusat gempanya relatif dangkal, hanya 10 kilometer. Selain itu, hamparan Kota Bandung semula juga dari sebuah danau purba yang mengering sekitar 16.000 tahun lalu. Ketiga, kawasan Bandung Raya adalah salah satu permukiman padat di Pulau Jawa. Keempat, standar bangunan tahan gempa di Bandung amatlah payah.
BMKG pada Agustus lalu menyebut, bila gempa maksimum terjadi dan dikonversi ke dalam skala Mercalli—satuan untuk menakar dampak kerusakan secara kasat mata— gempa dari patahan Lembang pada masa depan bakal menyebabkan kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi kuat sekalipun. Pada beberapa bangunan, dinding tembok bisa rontok dari tulang. Monumen dan menara akan roboh. Artinya, jaringan listrik dan komunikasi bisa terganggu.
Pada bangunan sederhana nonstruktural, seperti pemukiman penduduk, dampaknya adalah rusak berat atau ambruk. Yang menarik, kepada media, ahli rekayasa gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Adang Surahman, mengatakan hanya 15 persen gedung rancangan insinyur di Bandung yang tahan gempa.
Hitung Ulang
Ancaman terhadap kedua kota besar di Jawa, Jakarta dan Bandung, tentu membuat siapa pun investor yang akan menanamkan investasinya di Pulau Jawa bakal berhitung ulang, baik sektor manufaktur, infrastruktur, maupun tenaga listrik. Mereka jelas tak mau rugi, akan kehilangan aset miliaran dolar terkait potensi ancaman gempa.
Konsekuensinya, mereka akan mensyaratkan premi imbal balik yang lebih besar. Jikapun tidak, mereka akan ditekan oleh para pemberi pinjaman agar mensyaratkan imbal hasil tertentu dalam kondisi kedaruratan. Ujung-ujungnya, pemerintah Indonesia harus membayar lebih mahal atas utangan ataupun modal tertanam demi menjaga pergerakan ekonomi di Pulau Jawa tetap dinamis dan memberikan keuntungan.
Di sisi lain, meningkatnya ancaman bencana alam pun ternyata berpotensi untuk menggerakkan ekonomi lebih cepat. Transmisi itu datangnya dari peningkatan konsumsi masyarakat, terutama yang diperuntukkan sebagai bentuk peningkatan kewaspadaan atas terjadinya bencana alam.
Pembelian yang meningkat dari bahan makanan, peralatan dasar bertahan hidup, pembangunan properti dan hunian yang lebih banyak menggunakan bahan bangunan berkualitas, hingga peningkatan pembelian asuransi bencana akan menjadi potensi penggerak ekonomi tersendiri. Apalagi, bila dilakukan oleh sebagian besar penduduk kota besar di Pulau Jawa, di mana lebih dari 50 persen perekonomian negeri ini bergantung.
Sebuah peluang tersendiri bagi tetap bertahannya ekonomi Indonesia di masa-masa krisis.