Mendekati perhelatan pemilihan presiden 2019, berbagai isu mulai berkumandang. Salah satu yang cukup menohok pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah terkait utang luar negeri.
Berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri Indonesia melonjak 10,1 persen. Pada kuartal IV/2017, utang luar negeri telah mencapai US$ 352,2 miliar dolar AS atau setara Rp 4.757 triliun. Melonjaknya utang luar negeri dipengaruhi kenaikan utang di sektor publik dan swasta sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya.
Yang menarik, otoritas moneter telah mengklaim bahwa utang luar negeri Indonesia masih dalam batas aman, seperti dinyatakan Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman. Alasannya, berdasarkan jangka waktu, struktur utang luar negeri Indonesia masih didominasi utang jangka panjang. Perinciannya, utang luar negeri berjangka panjang yang memiliki pangsa 86,1 persen dari total utang luar negeri dan pada akhir kuartal IV/2017 tumbuh 8,5 persen (yoy).
Menurut sektor ekonomi, kata dia, posisi utang luar negeri pihak swasta pada akhir kuartal IV/2017 terutama di sektor keuangan, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih (LGA), serta pertambangan. Pertumbuhan utang luar negeri pada sektor keuangan, sektor industri pengolahan, dan sektor LGA meningkat dibandingkan dengan kuartal III/2017. Utang luar negeri sektor pertambangan juga mengalami kontraksi pertumbuhan.
Publik pun bertanya-tanya, mengapa pihak otoritas moneter terkesan tenang-tenang saja? Mendekati akhir 2016, sebenarnya kekhawatiran publik sudah tersuarakan melalui ormas Islam terbesar, Nahdatul Ulama (NU).
Menurut NU, utang-utang negara yang dibuat pemerintahan Presiden Jokowi sangat mengkhawatirkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indikatornya, utang-utang itu dibelanjakan pada proyek-proyek bukan kebutuhan rakyat, melainkan kepentingan kelompok, terutama yang berasal dari Negeri Tirai Bambu.
“Padahal, utang-utang yang diberikan Cina kepada tiga bank BUMN senilai US$ 3 miliar US dan US$ 5 miliar Amerika dari Bank Dunia, sangat minim kemanfaatannya bagi kebutuhan seluruh bangsa Indonesia,” ujar Lulu Hamidah, Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) NU kepada wartawan di kantor Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di sela-sela Milad ke-17 Garda Bangsa.
Masyarakat kelas menengah bawah, termasuk warga NU, katanya, yang paling terimbas dampaknya. Indikatornya, kebijakan yang dibuat pemerintah justru merusak, bahkan memiskinkan kehidupan para petani, nelayan, hingga petambak garam di daerah.
“Utang-utang yang dibuat pemerintah tidak menjawab kebutuhan mendesak rakyat,” katanya.
Namun, pihak-pihak yang mendukung rezim Jokowi berpendapat, saat ini ekonomi Indonesia aman-aman saja. Betul utang Indonesia mendekati angka Rp 4.000 triliun –persisnya Februari ini, utang pemerintah di angka Rp 3.958,7 triliun, atau sekitar 28,9% dari produk domestik bruto (PDB)– tetapi utang yang diwariskan pemerintahan sebelumnnya mencapai Rp 2.608,8 triliun, dengan kewajiban pembayaran cicilan pokok dan bunga sekitar Rp 373,7 triliun per tahun atau sudah dibayar Rp 1.121 triliun. Jadi jumlah utang pemerintah selama tiga tahun adalah 3.958,7 – 2608,8 = Rp 1.349,9 triliun.
Jadi kalau pemerintah sekarang tidak diwarisi utang dengan cicilan pokok & bunga sekitar Rp 373 triliun, pemerintah hanya berutang sekitar Rp 1.349,9 – 1.121 = Rp 228,9 triliun saja.
Masih Terkendali
Benarkah begitu? Pendapat lain datang dari Kepala Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno, Salamudin Daeng. Menurut Daeng, sejak berakhirnya pemerintahan SBY hingga kuartal 1/2016, utang luar negeri pemerintahan Jokowi bertambah Rp 291,28 triliun. Sementara itu, utang dalam negeri yang bersumber dari surat utang negara (SUN) bertambah Rp 294,57 triliun. Jadi pemerintahan Jokowi telah menambah utang sebesar Rp 585,85 triliun.
Meski demikian, Bank Indonesia memandang perkembangan utang luar negeri pada kuartal IV/2017 masih terkendali. Rasio utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto pada akhir kuartal IV/2017 tercatat stabil di kisaran 34 persen. Selain itu, rasio utang jangka pendek terhadap total utang luar negeri juga relatif stabil di kisaran 13 persen.
Namun, pernyataan tingginya produktivitas yang dilontarkan oleh otoritas moneter ditentang oleh Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Drajad Wibowo. Hal ini disebabkan sektor unggulan saat ini, yakni infrastruktur, justru memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah.
Dari kajian Indef, selama tiga tahun periode pemerintahan yang dipimpin Jokowi-JK (2015-2017), tambahan penduduk bekerja hanya 134,6 ribu orang di tengah masifnya pembangunan infrastruktur. Angka itu lebih rendah sekaligus lebih tinggi dibandingkan dengan dua periode pemerintahan sebelumnya. Tambahan penduduk bekerja di sektor konstruksi pada tiga tahun pertama SBY-Boediono (2010-2012) sebanyak 483,6 ribu orang, dan pada tiga tahun pertama SBY-JK (2005-2007) 94,9 ribu orang.
Berbahayakah? Tampaknya masing-masing pihak punya pendapat dengan alasan yang sama kuat. Namun, di tengah hiruk pikuk pro-kontra terselip fakta bahwa Indonesia telah memasuki level baru dalam ranah percaturan ekonomi global.
Produk domestik bruto (PDB) Indonesia telah mencapai US$1.02 triliun. Dengan capaian PDB sebesar itu, Indonesia masuk dalam kelompok triliun dolar atau trillion dollar club yang saat ini baru diisi 15 negara.
Tidak mengherankan bila Direktur Pelaksana International Monetery Fund (IMF), Christine Lagarde, menyatakan bahwa perekonomian Indonesia saat ini sudah berjalan dengan sangat baik. Lagarde mengatakan, sektor konsumsi, investasi, dan ekspor sudah menjadi penggerak utama dari ekonomi Indonesia saat ini. Dan semua indikator itu masih tumbuh secara positif dan sehat.
Source: Citizen Daily