Ponorogo –
Peraturan Bupati (Perbup) No 49 tahun 2017 tentang pelestarian budaya khas Ponorogo mewajibkan pelajar, pengajar serta PNS memakai batik buatan pengrajin.
Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni mengaku dengan cara seperti ini bisa membangkitkan kembali gairah batik di Ponorogo melalui penciptaan pasar. Setidaknya ada 15 perajin batik dilibatkan dalam proyek ini.
“Siswa diharuskan beli tanpa terkecuali, tapi yang tidak mampu dibantu Rp 175 ribu ke rekening masing-masing siswa,” tutur Bupati Ipong saat dihubungi detikcom, Sabtu (16/12/2017).
Menurutnya, dengan peraturan ini semua siswa memang diwajibkan mengenakan batik khas Ponorogo setiap hari Kamis. “Wajib mengenakan batik, bukan belinya. Meskipun ini juga untuk menghidupkan perajin batik,” ujarnya.
Seperti surat edaran kepada wali murid, disebutkan untuk siswa yang memakai lengan pendek dikenakan Rp 72,5 ribu, sedangkan lengan panjang Rp 77,5 ribu. “Ada juga empat orang protes kemahalan, saya tanya terus yang tidak kemahalan berapa, tapi diam saja,” jelasnya.
Pemerintah tidak melakukan pengadaan, lanjut dia, sehingga tidak ada dana khusus yang dialokasikan untuk program ini. Hanya siswa harus mandiri mulai mengenakan batik yang dijadwalkan tahun ajaran baru 2017.
“Tapi rupanya para perajin belum siap, makanya sampai Desember ini belum semua sudah pakai seragam,” terangnya.
Bahkan jika ada siswa yang tidak mentaati peraturan, nantinya dikenakan sanksi. Minimal sanksi disiplin dan maksimal dikeluarkan dari sekolah. “Tapi selama ini tidak ada yang dapat sanksi maksimal,” cakapnya.
Saat ini sudah ada 60 ribu siswa tergolong tidak mampu, dari total 95 ribu siswa dibantu Pemkab Ponorogo untuk membeli seragam batik khas daerah ini.
Namun sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan ada keterlibatan salah satu CV yang ditunjuk sebagai distributor. Berakibat meruginya perajin batik akibat sejumlah sekolah takut membeli ke produsen karena penunjukkan CV yang tertera di dalam surat edaran.
(fat/fat)