Mojokerto – Ratusan keluarga di Kelurahan Kedundung, Magersari, Kota Mojokerto terpaksa tinggal di area makam Cina lantaran tak punya tempat tinggal. Tak sedikit yang tidur di gubuk reot di tengah nuansa seram pemakaman.
Penderitaan itu salah satunya dialami Binah (60), warga Lingkungan Balongrawe, Kelurahan Kedundung. Tempat tinggal ibu 5 anak persis di sisi timur makam Cina. Sementara di kanan kiri rumah merupakan kebun yang ditumbuhi pepohonan dan pisang.
Tempat tinggal nenek 20 cucu ini lebih tepat disebut gubuk. Bagaimana tidak, bangunan dari bambu, berdinding anyaman bambu dan lantai tanah itu kondisinya memprihatinkan. Selain kotor, atap rumah banyak berlubang.
Ruang tamu penuh dengan sebuah kasur lusuh. Sementara ruangan belakang digunakan untuk memasak dan kamar mandi. Namun, tak ada pilihan lain bagi Binah. Sejak rumah warisan orang tuanya di Kelurahan Jagalan, Magersari dia jual sekitar 10 tahun yang lalu, istri Rusman (67) ini harus tinggal di area makam.
“Di sini saya kontrak ke penghuni lama, orang yang menempati duluan. Sebulan Rp 75 ribu, listrik bayar sendiri, kalau air pakai pompa,” kata Binah saat berbincang dengan detikcom di rumahnya, Jumat (10/11/2017).
Rumah tak layak huni itu ditempati Binah bersama suami dan 3 orang cucunya. Setiap hari dia harus rela tidur di tanah beralaskan tikar. Satu-satunya kasur di rumahnya, digunakan oleh suami dan ketiga cucunya.
“Kalau hujan bocor semua, kalau malam kedingin. cucu saya punya sesak nafas sering kambuh. Mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan,” ujarnya sembari berlinang air mata.
Itu belum termasuk femomena gaib yang kerap mengganggu keluarganya. Maklum saja, yang mereka tempati selama puluhan tahun merupakan area pemakaman.
“Penampakan nenek-nenek sering menakuti, cucu saya sering diganggu di belakang rumah,” ungkapnya.
Namun, sang suami yang hanya tukang becak, sampai saat ini belum mampu untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Upaya Binah membantu berdagang pakian bekas, belum banyak mengubah kondisi ekononomi mereka.
“Saya ingin punya usaha supaya bisa menabung untuk beli rumah sendiri,” harapnya.
Duka yang sama juga dirasakan Hari (36). Sama dengan Binah, bapak satu anak ini lebih dari 10 tahun di area makam Cina di Lingkungan Balongrawe.
Rumah tak layak huni itu dia tempati bersama anak, istri, ibu dan seorang saudaranya. Hanya saja, gubuk reot itu tidak menyewa ke pemilik lain. Dia lebih beruntung lantaran mendapat jatah lahan yang sampai saat ini milik negara.
“Orang seperti saya sampai mau tinggal di makam ya karena sangat terpaksa karena tak punya tempat tinggal,” ujar Hari.
Penghasilannya sebagai kuli bangunan, belum cukup untuk makan sehari-hari. Apalagi untuk membeli sebidang tanah.
“Harapan saya tanah ini bisa diresmikan menjadi hak milik saya. Takutnya suatu saat digusur, mau tinggal di mana lagi,” tandasnya.
Menurut Lurah Kedundung Yusronsyah, area makam Cina di wilayahnya berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Kawasan terdiri dari 4 blok ini membentang di Lingkungan Balongrawe dan Kedundung. Sekitar tahun 1980-an, warga mulai mendirikan permukiman di area makam secara liar.
Sekitar tahun 2000, blok 1-2 berhasil dialihkan menjadi milik penduduk dan Yayasan Podo Langgeng. Namun, blok 3-4 yang saat ini dihuni sekitar 500 keluarga atau sekitar 1.500 jiwa, masih berstatus tanah milik negara.
(bdh/bdh)