Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan sudah memberikan titik terang atas peristiwa penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu. Setidaknya enam poin dihasilkan dari investigasi tersebut, meski TGPF menyatakan belum ada titik terang tentang siapa pelaku, otak penyerangan, dan motif penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.
Kasus Novel sudah lebih dari dua tahun bergulir. Novel diserang di bagian wajah menggunakan air keras pada 11 April 2017. Akibatnya dua mata Novel cedera, bahkan mata kirinya hampir rusak. Karena kondisinya sungguh memprihatinkan, Novel beberapa kali menjalani pengobatan ke Singapura. Presiden Joko Widodo pun didesak untuk mengambil sikap terhadap penyelesaian kasus yang sudah dua tahun lebih menggantung itu.
Enam poin yang dirilis TGPF pekan lalu antara lain ada kejanggalan sebelum kejadian penyiraman di pagi hari tersebut. Novel pernah didatangi oleh orang tak dikenal di rumahnya pada 5 April dan 10 April 2017. Peristiwa tersebut diduga terkait dengan penyiraman air keras pada tanggal 11 April 2017.
Poin kedua, cairan yang digunakan untuk menyiram Novel adalah asam sulfat (H2S04), zat tersebut berkadar larut dan tidak menyebabkan luka permanen. Indikasi lain adalah tidak adanya kerusakan pada pakaian yang dikenakan Novel saat itu, cairan tersebut tidak menyebabkan kematian. Poin ketiga, penyerangan tersebut bertujuan untuk menyengsarakan korban, bukan untuk membunuhnya.
Poin keempat, ada dugaan penggunaan kekuasaan yang berlebihan oleh Novel saat menjalankan tugas. Sikap tersebut diduga menyebabkan sakit hati dan adanya serangan balik terhadap penyidik KPK. Poin tersebut diungkap berdasarkan pemeriksaan saksi.
Kelima, saat kejadian, Novel sedang menangani kasus-kasus besar. Antara lain kasus korupsi e-KTP; kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar; kasus mantan Sekjen Mahkamah Agung (MA), Nurhadi; kasus mantan Bupati Buol, Amran Batalipu; dan kasus korupsi Wisma Atlet.
Untuk menindaklanjuti temuan tersebut, Polri membentuk tim teknis lapangan di bawah pimpinan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim), Komjen Pol Idham Aziz. Tugas tim teknis lapangan tersebut masih sama, mengungkap kasus Novel sampai tuntas.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menargetkan kasus tersebut harus bisa tuntas dalam waktu enam bulan. Namun, target tersebut “didiskon” oleh Jokowi, menjadi tiga bulan. Artinya, Polri harus bekerja keras untuk mengungkap kasus ini dalam waktu tiga bulan, atau sebelum tiga bulan sudah harus selesai.
Cederai Hukum
Kasus Novel memang tak kunjung terang sejak dua tahun lalu. Temuan TGPF sepertinya tak cukup menjawab misteri kasus ini. Pasalnya, siapa pelaku dan otak penyerangan tersebut belum diungkap. Ini adalah pekerjaan besar yang harus diselesaikan oleh kepolisian. Jika tak selesai dalam waktu yang ditentukan presiden, akan semakin memperburuk citra aparat di mata masyarakat.
Banyak yang mengkaitkan kasus penyerangan tersebut tak jauh dari kasus-kasus dugaan korupsi yang pernah ditangani Novel. Bisa jadi kasus tersebut melibatkan orang besar yang dekat dengan kekuasaan atau memiliki pengaruh. Inilah yang menyebabkan kasus tersebut terus menggantung dan tak kunjung usai.
Pembentukan tim teknis lapangan layak dipertanyakan. Seharusnya pekerjaan ini selesai di TGPF saja. Menjadi masalah karena TGPF tak juga mengungkap siapa pelakunya. Ada dugaan sebetulnya TGPF sudah mengantongi nama pelaku, hanya saja belum diungkap atau tidak berani mengungkap.
Seharusnya hukum tak bisa pandang bulu, siapa pun yang terlibat dan bisa dibuktikan secara hukum harus diproses. Bukan justru merancang cerita baru dan menutupi pelaku sebenarnya. Jokowi telah memberikan tenggat waktu tiga bulan kepada tim bentukan Kapolri tersebut. Bila tak dapat selesai, tentu akan menjadi catatan buruk di bidang hukum dan malah bakal menjadi bumerang bagi Kapolri dan Jokowi ke depannya.