Aksi teror terhadap awak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali terjadi. Serangan kali ini adalah kediaman pimpinan lembaga antirasuah itu, Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua Laode Muhammad Syarief.
Serangan terhadap kediaman Agus dan Laode tercatat sebagai teror kesembilan yang dialami pimpinan, pegawai, atau penyidik KPK. Kasus serangan ke KPK yang dicatat dan membuat gempar karena secara sengaja menyasar tubuh penyidik adalah penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, April 2017.
Aksi teror terhadap pimpinan, pegawai, dan penyidik KPK harus diungkap demi tegaknya keadilan dan agar teror serupa tidak terjadi lagi. KPK adalah lembaga negara yang gencar memberantas korupsi, bagaimana bisa keamanannya justru terancam?
Lihat saja, kasus Novel tak kunjung terang. Sampai sekarang, pihak kepolisian belum dapat mengungkap siapa pelaku teror terhadap Novel. Ini merupakan citra buruk terhadap pemerintah karena tidak dapat mengungkapkan kasus teror, justru serangan kembali terjadi. Bukan tidak mungkin aksi teror akan kembali terjadi di kemudian hari, dengan sasaran baru tentu saja.
Dua aksi teror di kediaman dua pimpinan KPK terjadi nyaris bersamaan. Teror menyasar rumah Agus, yang berada di Perumahan Graha Indah, Jati Asih, Kota Bekasi, Jawa Barat, terjadi pukul 05.30 WIB, Rabu 9 Januari 2019, sedangkan di kediaman Laode, yang berada di Kalibata, Jakarta Selatan, pada Rabu dini hari.
Rumah Laode diketahui dilempar bom molotov dan mengenai bagian belakang rumah. Tidak ada korban dalam peristiwa tersebut, hanya saja terdapat bekas hangus di halaman belakang rumah Laode. Diketahui ada dua bom yang dilemparkan, satu bom dalam kondisi utuh, sedangkan satu lagi sudah meledak yang diketahui mirip pecahan gelas.
Di kediaman Agus, barang terduga bom dicantolkan di pagar rumah. Benda yang terbungkus tas hitam tersebut pertama kali ditemukan oleh penjaga rumah Agus. Namun, belakangan diketahui bahwa benda tersebut hanyalah bom palsu. Serbuk putih yang terdapat dalam bungkusan tersebut adalah semen putih, bukan bahan peledak.
Hasil tersebut didapat dari pengecekan penyidik di Puslabfor. Selain itu, rangkaian kabel yang ada dalam bom palsu tersebut juga tidak tersambung. “Ada memang paralon, paku, kabel, tetapi tidak tersambung,” kata Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen M. Iqbal seperti yang dikutip Detik.com.
Profesional dan Sistematis
Kendati hanya bom palsu, teror tersebut tak dapat diabaikan begitu saja. Bisa jadi ini merupakan ancaman awal dari pelaku kepada pimpinan KPK. Sebagai penjaga keamanan negeri, Polri seharusnya bukan hanya berjanji akan mengusut, tetapi harus membuktikan secara nyata agar tidak lagi terulang dan menjadi ancaman bagi pimpinan KPK dan keluarganya.
Tidak menutup kemungkinan bahwa teror yang terjadi di kediaman dua pimpinan KPK secara bersamaan adalah salah satu upaya pelemahan KPK. Ini adalah imbas dari tak selesainya kasus teror terhadap KPK. Tujuannya bisa jadi bukan hanya untuk “melenyapkan” mereka, tetapi ancaman dari oknum yang merasa tak bebas berperilaku koruptif karena kerja KPK.
Bisa jadi pelaku teror terhadap Novel dan dua pimpinan KPK ini adalah oknum yang sama. Sangat kentara mereka ini profesional karena nyaris tidak meninggalkan jejak. Modus operandinya nyaris sama, dua orang berboncengan motor dan melakukan aksi dengan cepat. Pastinya ini dilakukan bukan oleh mereka yang amatir.
Selain itu sangat kecil kemungkinan pelaku bukanlah kelompok profesional. Pekerjaan mereka sangat sistematis dan terencana. Artinya, teror yang dilakukan ini bukan main-main, melainkan benar-benar ancaman yang patut diwaspadai.
Pemerintah Harus Tegas
Bukan sekadar mengutuk dan meminta kejadian ini diusut tuntas, presiden harus menargetkan Polri dan mengambil sikap tegas. Ini bisa saja terkait dengan upaya pelemahan KPK, dengan menakut-nakuti personelnya. Upaya tegas pemerintah untuk melindungi supaya ancaman tak datang dan KPK tetap bisa melakukan tugasnya sebagai lembaga antirasuah.
Penuntasan kasus teror terhadap KPK adalah bukti nyata dari pemerintah untuk berkomitmen memberantas korupsi. Sangat mungkin pelakunya adalah mereka yang merasa kebebasannya terancam dan tidak leluasa untuk berbuat korupsi. Apalagi belakangan KPK tak main-main dalam menangkap pelaku korupsi.
Sepertinya ada indikasi pola perubahan ancaman terhadap pimpinan KPK. Jika sebelumnya para pimpinan KPK diteror dengan kriminalisasi seperti Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Bibit Samad Rianto, Chandra Hamzah akibat dugaan kasus pidana, sekarang bergeser ke ancaman individu berupa teror. Apa pun bentuk terornya, patut diwaspadai sebagai upaya pelemahan KPK.
Di sisi lain, KPK juga menegaskan bahwa tidak gentar dan ciut nyali dengan ancaman tersebut. ”Teror terhadap pimpinan dan pegawai KPK tidak pernah menciutkan nyali kami dalam memberantas korupsi di Indonesia. Justru semakin memperteguh semangat kami bahwa korupsi harus dibasmi, apa pun risikonya,” kata Yudi Purnomo Harahap, Ketua Wadah Pegawai KPK, seperti dikutip CNN.com.
Pekerjaan dari kepolisian dan aparat saat ini adalah megungkapkan misteri teror yang belum juga terkuak, mulai dari kasus Novel Baswedan sampai terakhir teror bom di rumah pimpinan KPK.