Deputi Koordinasi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemko Perekonomian), Musdalifah Machmud mengungkapkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) bisa rampung pada bulan Mei 2018.
“Saat ini masih dalam tahap legal di Kemko Perekonomian. Mudah-mudahan perpres bisa keluar pada semester tahun ini,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (31/3)
Menurut dia, pemerintah juga sedang menyiapkan kelembagaan ISPO. Nantinya ada lembaga independen yang mengurusi ISPO. “Dulunya ISPO diatur dalam permentan, sekarang kita naikin ke perpres,” ujarnya.
Sebelumnya dalam Diskusi ISPO dan Keberterimaan Pasar Global di Jakarta, Kamis (29/3) Musdalifah mengungkapkan, Presiden Jokowi selama ini telah meyakinkan kepada instansi lain bahwa komoditas sawit ini penting untuk negara, bukan hanya Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
Dalam revisi ISPO, ada satu prinsip yang ditambahkan yakni aspek transparansi. “Kita masukkan sebagai salah satu item dan juga termasuk di dalamnya traceability, ini kan sesuatu yang baru sebenarnya, tapi memang bagus juga karena kita kan selama ini belum begitu rapih. Nah ini sekaligus kita rapikan data petani maupun perusahaan sawitnya,” kata Musdalifah.
Dia menuturkan, perusahaan sawit mudah untuk didata, namun petani sawit itu sulit.
“Mereka memproduksi dan hasilnya masuk ke pabrik kelapa sawit (PKS), nah dari PKS ini akan kita lihat berapa masing-masing produksinya. Satu PKS kita lihat traceability. Lalu, berapa petani yang menyerahkan ke PKS. Ini lebih detail karena kita lacak pasokannya,” katanya.
Kacuk Sumarto dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengatakan pihaknya mendukung penuh penguatan ISPO. Oleh karena itu, perlu dibangun kolaborasi dengan semua pihak.
Dia berharap, sertifikasi ISPO digunakan untuk membentuk perilaku pelaku industri sawit. “Untuk itu, sekarang tinggal proses mendapatkan sertifikasi ISPO dapat dipercepat,” ujarnya.
Diakuinya, negara konsumen meminta banyak standar, utamanya dari aspek lingkungan, kesehatan, hak asasi manusia. Namun adanya unsur kepentingan dagang dan hegemoni negara maju, mengakibatkan sawit diperlakukan tidak adil, seperti tindakan diskriminasi dan hambatan perdagangan.
Oleh karena itu ISPO harus mampu menjawab tantangan itu,” ujarnya.
Sumber: Berita Satu