Hampir genap lima tahun sejak diluncurkan, Program Jaminan Bidang Kesehatan Masyarakat yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih menyisakan banyak masalah. Mulai dari persoalan peserta yang ditolak di rumah sakit hingga defisit dana jaminan sosial (DJS) yang kini mengemuka.
Defisit anggaran sudah jadi masalah yang menahun dan jadi sorotan selama tiga tahun terakhir. Defisit anggaran DJS diperkirakan membengkak hingga Rp 9 triliun pada 2017. Angka tersebut naik tiga kali lipat dari defisit anggaran pada 2014 yang hanya Rp 3,3 triliun.
Pada 2018, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah merampungkan audit keuangan BPJS Kesehatan dan hasilnya defisit sekitar Rp 10,9 triliun. Angka tersebut jauh dari hitungan manajemen BPJS Kesehatan yang sebesar Rp 16,5 triliun atau ada selisih Rp 5,6 triliun.
“Kalau dari kami Rp 16,5 triliun, hitungan BPKP Rp 10,9 triliun,” kata Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma’ruf, seperti dikutip Detik.com.
Iqbal menyebutkan, total defisit anggaran BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 16,5 triliun tersebut terdiri dari carry over 2017 sebesar Rp 4,4 triliun dan proyeksi defisit tahun 2018 sebesar Rp 12,1 triliun.
Penyebab Defisit
Ada beberapa faktor penyebab defisitnya keuangan BPJS. Pertama, iuran yang terlalu rendah (underprice). Contoh, peserta kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI) hanya membayar Rp 23.000 per bulan. Padahal, idealnya mereka mesti membayar iuran Rp 36.000 sebulan.
Iuran peserta mandiri, kelas III tidak naik atau tetap sebesar Rp 25.500 per orang per bulan. Idealnya, mereka membayar iuran sebesar Rp 53.000 per bulan.
Untuk peserta kelas II, pemerintah sudah menaikkan iuran menjadi Rp 51.000 per orang per bulan dari sebelumnya Rp 42.500 per orang per bulan. Untuk kelas I, naik menjadi Rp 80.000 per orang per bulan dari sebelumnya Rp59.500 per orang per bulan.
Peserta BPJS Kesehatan hanya membayar premi iuran rata-rata US$ 2 per bulan atau kurang dari US$ 24 per tahun. Bila membandingkan dengan negara lain seperti Korea Selatan, peserta membayar premi lebih dari US$ 2.000 per tahun. Di Jerman, rakyatnya membayar total premi sekitar US$ 2.500 setahun. Di Inggris, masyarakat membayar total premi lebih dari 2.000 poundsterling per tahun.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, menyebut besaran klaim yang dibayarkan perusahaan selalu lebih besar ketimbang iuran yang diterima dari peserta. Sederhananya, besar pasak dari tiang.
Data resmi jumlah peserta BPJS Kesehatan tembus 204,4 juta jiwa hingga pertengahan September ini. Nah, separuh dari jumlah itu atau sekitar 118 juta merupakan peserta penerima bantuan iuran (PBI) atau masyarakat miskin.
Masalah kedua, pemerintah tidak mampu memaksa peserta agar disiplin dan rutin membayar iuran (premi) tiap bulan. Berdasarkan data, hingga September 2018, sebanyak 17,3 juta peserta menunggak pembayaran iuran (premi). Ironisnya, mereka tetap bisa menikmati fasilitas layananan BPJS Kesehatan.
Tanggung Jawab Presiden
Penyelesaian defisit BPJS Kesehatan seharusnya bisa selesai di tingkatan Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Tidak perlu sampai ditangani oleh presiden.
Presiden Jokowi menyinggung hal tersebut ketika membuka Kongres XIV Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia di Jakarta Convention Center, Rabu (17 Oktober 2018). Dalam kesempatan itu, dia menyindir Menteri Kesehatan, Nila F. Moelek, dan Fachmi Idris yang turut hadir.
“Mestinya sudah rampunglah di Menkes, di Dirut BPJS. Urusan pembayaran utang rumah sakit sampai presiden. Ini kebangetan sebetulnya. Kalau tahun depan masih diulang, kebangetan,” katanya.
Menurut Jokowi, persoalan defisit BPJS Kesehatan sudah berlangsung sejak tiga tahun lalu. Dana talangan sebesar Rp 4,9 triliun pun diberikan untuk menutup defisit, meskipun talangan itu dikatakan oleh beberapa pihak masih kurang.
Beberapa pihak menilai, ada kesan Presiden Jokowi seperti hendak cuci tangan atas polemik keuangan BPJS Kesehatan dengan menyalahkan Menteri Kesehatan dan Dirut BPJS Kesehatan. Padahal, berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dalam Pasal 7 tertulis:
(1) BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah badan hukum publik berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden.
Jadi jelas menurut UU, Presiden Jokowi tak bisa lepas tangan atas polemik defisit keuangan BPJS Kesehatan. Dia harus bertanggung jawab untuk mencari solusi atas masalah ini.
Dalam menekan defisit DJS, pemerintah mulai menyiapkan sejumlah opsi antisipasi. Di antaranya adalah mengurangi manfaat pelayanan, menaikkan iuran premi, hingga menambah suntikan dana dari pemerintah.
Dalam Muktamar ke-30 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Samarinda, Kalimantan Timur, Ketua Umum IDI, Ilham Oetama Marsis, berharap Presiden Jokowi dapat memaparkan solusi mengatasi BPJS Kesehatan. Dalam pidatonya, Presiden belum mau menjelaskan solusi yang akan ditempuhnya untuk mengentaskan masalah ini, tetapi secara tersirat, dia seperti ingin kembali menggelontorkan dana untuk menutup defisit DJS BPJS Kesehatan.
“Kita ingat bahwa yang namanya subsidi BBM, subsidi energi, itu pernah mencapai yang namanya angka Rp 340 triliun. Ini untuk kesehatan kok masa enggak diberikan? Ya kira-kira jawabannya kurang lebih itu. Kurang lebih,” tutur Jokowi yang disambut tepuk tangan hadirin.
Sebenarnya, suka atau tidak suka, cara paling logis untuk menekan defisit adalah dengan menaikkan premi. Masalahnya, langkah ini sulit jadi pilihan Presiden Jokowi karena tidak populer dan dikhawatirkan bakal menggerus elektabilitasnya jelang pemilihan presiden (pilpres) 2019.
Namun, seperti perkataan orang bijak, “gula yang manis membahayakan, tetapi obat yang pahit menyembuhkan”, Presiden Jokowi tak perlu takut untuk mengambil kebijakan yang tidak populer demi memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Bila pemerintah mampu memberikan penjelasan secara transparan dan logis, rakyat tentu dapat memahami serta memaklumi hal tersebut.
Langkah kedua, pemerintah harus membuat aturan dengan sanksi hukum yang lebih keras dan tegas guna mendisiplinkan para peserta BPJS Kesehatan yang menunggak sehingga dapat memaksa mereka untuk tertib membayar premi tiap bulan.
Langkah ketiga, BPJS Kesehatan mesti menjaring sebanyak-banyaknya kepesertaan pekerja penerima upah (PPU), khususnya untuk nonpemerintah. Pasalnya, jumlah peserta PPU nonpemerintah baru tercatat 10,9 juta orang.
Jumlah tersebut masih bisa diperbesar sebab berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ada sebanyak 47 juta orang PPU. Ini peluang sumber dana yang besar bagi BPJS.
Potensi sumbangan pendapatan iuran dari PPU ini cukup besar. Pendapatan iuran dari 10,9 juta PPU itu mencapai Rp 10,4 triliun pada semester 1/2017, atau menyumbang 29% dari total pendapatan iuran, yakni senilai Rp 35,9 triliun.
Bila jumlah PPU tersebut bertambah sekitar 10 juta peserta saja, ada potensi tambahan pendapatan dari iuran sebesar Rp 20 triliun per tahun. Jadi, bukan tidak mungkin, anggaran DJS berbalik menjadi surplus, dengan asumsi peserta PPU ini juga lebih sadar akan pentingnya jaminan kesehatan mereka.