sekelompok pencinta lingkungan hidup memblokade jalan yang akan dilalui Boris Johnson dengan tujuan Istana Buckingham setelah dirinya resmi ditetapkan sebagai Perdana Menteri (PM) Inggris yang baru. Para aktivis mengatakan, mereka menekankan pentingnya mengatasi perubahan iklim yang sudah masuk kondisi darurat.
Para aktivis lingkungan itu bergandengan tangan di seberang mal saat Johnson berjalan untuk menemui Ratu. Mereka berencana menyerahkan surat kepada Johnson yang berisi detail cara mengakhiri krisis iklim. Namun, mereka dengan segera dibubarkan polisi.
Aksi penghadangan Johnson kemudian viral di media Inggris, dan memicu respon beberapa tokoh politik, di antaranya pemimpin Partai Hijau, Natalie Bennett. Ia mencuitkan kalimat bernada satire di Twitter bahwa demonstrasi tersebut seharusnya menjadi “pengingat bagi Boris Johnson jika dinginnya AC membuatnya lupa”. Protes berlangsung tepat setelah Ratu meminta Johnson membentuk pemerintahan yang baru, setelah pengunduran diri Theresa May dan kemenangannya dalam pemilihan ulang di antara pemimpin Partai Konservatif.
Malam harinya ratusan orang kembali berkumpul di Russell Square di London untuk memprotes terpilihnya Johnson. Para demonstran membawa spanduk bertuliskan “fck govt fck boris”.
Seorang demonstran, Lois Ward-Marvin, 23, yang berprofesi sebagai seniman tato berkata, “Saya tidak ingin Boris Johnson menjadi perdana menteri. Yang memilihnya hanya orang kulit putih. Dia rasis, seksis, homofobia, dan saya pikir dia tidak benar-benar ingin membawa perubahan untuk kebaikan.”
Terlepas dari kemarahan terhadap terpilihnya PM yang baru, demonstrasi secara keseluruhan berlangsung damai, tidak ada aktivis yang ditangkap. Protes kedua direncanakan digelar pada 20 September.
Sikap Ambigu
Johnson telah menjadi karakter yang dipolarisasi selama bertahun-tahun. Pemimpin Partai Konservatif yang pernah menjadi Wali Kota London dan sekarang menjabat PM Inggris itu dicemooh aktivis lingkungan hidup terutama karena pandangannya tentang perubahan iklim.
Setelah menduduki puncak jabatan eksekutif, para pencinta lingkungan hidup menuntut langkah konkret pemimpin baru Inggris itu begitu dia memasuki pintu kediaman resmi PM Inggris, 10 Downing Street.
Greenpeace UK mempertanyakan akankah Johnson menempatkan persoalan lingkungan hidup dalam agenda utama pemerintahannya. Direktur Eksekutif-nya, John Sauven, menganggap sikap Johnson membingungkan dan sangat ambigu.
Ia menyebut, “Banyak pernyataannya yang menggembirakan yang dapat memberi harapan kepada orang-orang yang peduli tentang keadaan planet kita, di sisi lain banyak pernyataannya yang membuat orang yang sama merasa putus asa.”
Sementara itu, komentator dan aktivis lingkungan mengaku frustrasi pada persepsi Johnson yang kurang antusias mengedepankan isu perubahan iklim sebagai bagian penting dari kebijakannya.
Banyak kalangan juga tidak senang dengan aliansi Johnson dengan Presiden AS, Donald Trump, yang disebutkan telah menyatakan bahwa dirinya tidak percaya laporan yang mendokumentasikan adanya dampak perubahan iklim.
Rekam Jejak
Johnson digambarkan media Inggris dan aktivis lingkungan sebagai badut, rasis, pembohong, dan fanatik. Di sisi lain, sifatnya yang terbuka dan humornya yang bernas juga memungkinkannya terhindar dari kritik dan bisa memenangkan hati pemilih yang konservatif.
Sepanjang karier politiknya, Johnson telah membangun rekam jejak yang tidak konsisten dalam hal isu lingkungan. Ia menjanjikan akan mengatasi polusi dan memberi insentif pada teknologi rendah emisi, tetapi implementasinya dinilai jalan di tempat.
Kala menjabat wali kota, Johnson berinisiatif mengurai zona kemacetan di London dengan mengurangi jumlah kendaraan yang memasuki pusat kota dan memberi insentif kepada orang-orang yang mau beralih ke transportasi umum atau bersepeda.
Johnson kemudian mengumumkan bahwa London akan menuju ke “Zona Emisi Sangat Rendah” yang hanya mengizinkan kendaraan rendah emisi atau nol, seperti kendaraan listrik, memasuki pusat London. Namun, sekali lagi, Johnson tidak merealisasi janji politiknya.
Lalu, ketika menjadi menteri luar negeri, Johnson mengurangi hingga dua per tiga jumlah diplomat yang terlibat dalam negosiasi perubahan iklim. Pengurangan bertepatan dengan ketika negara-negara di dunia berkumpul untuk menegosiasi dalam Perjanjian Paris.
Berkaca dari rekam jejak Johnson, para pencinta lingkungan memprediksi bahwa ia akan melanjutkan kebijakan iklim yang dikembangkan oleh pendahulunya, Theresa May.
Brexit Penentu Kebijakan Energi?
Sementara itu, pengamat politik dan analis internasional memprediksi realitas yang mungkin terjadi adalah Brexit akan terus mendominasi agenda politik Inggris setidaknya untuk masa mendatang. Johnson dinilai akan mengambil pendekatan keras terhadap Brexit.
Brexit akan memisahkan Inggris dari Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa, yang telah mengalami pemulihan signifikan harga karbon yang disetujui dalam dua tahun terakhir. Saat ini diperdagangkan di kisaran harga € 30 per ton (AUD $ 48).
Setelah fluktuasi harga, menyusul pelambatan ekonomi yang dipicu oleh krisis utang Eropa, skema perdagangan Uni Eropa telah kembali sebagai sinyal pasar yang efektif untuk mengurangi 10% dari emisi gas rumah kaca global.
Pemerintah Inggris telah berjanji menetapkan harga karbon yang baru untuk para pengusaha di negara itu, tetapi rincian akhir dari pengaturan ini tergantung pada hasil negosiasi Brexit.
Tinggal menunggu waktu apakah pemerintahan PM Johnson akan berdampak pada kebijakan iklim dan energi Inggris. Selaras dengan Greenpeace, banyak juga analis yang mewaspadai pengaruh besar yang mungkin dimiliki Presiden Trump dalam menjauhkan Johnson dari kerja sama internasional tentang perubahan iklim.