Sekitar satu bulan massa kampanye Pilgub Jawa Timur berjalan, tiba-tiba miliaran uang palsu beredar di Surabaya. 11 orang diamankan Polrestabes Surabaya, satu di antaranya adalah perempuan. Dua orang lainnya masih buron.
Terkait masalah ini, pihak Polrestabes Surabaya mengaku masih mendalami apakah peredaran uang palsu pecahan Rp 100.00 dan 10.000 Dolar Singapura itu berkaitan dengan kampanye Pilkada 2018.
“Kita melihat (dulu kasusnya apakah ada kaitan dengan Pilkada). Sekarang ini (masih) pada penyimpanan dan mengedarkan itu,” terang Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Rudi Setiawan, Selasa (27/3) sore.
Perwira tiga melati di pundak ini juga mengaku, kalau pihaknya juga masih fokus pada sumbernya. Baik pemilik uang palsu maupun alat cetaknya. “Kita masih dalami juga peredarannya sampai ke mana,” sambungnya.
Yang jelas, lanjutnya, pengungkapan kasus ini bermula dari informasi yang diterima Polsek Karang Pilang. Kemudian menindaklanjutinya, dan berhasil menangkap dua tersangka. Yaitu SH (47), asal Lamongan dan RS (43), asal Jombang yang tengah bertransaksi di SPBU Kedurus, Surabaya.
“Awalnya kita amankan dua orang ini,” kata Rudi.
Dari tangan SH, polisi mengamankan 319 lembar uang palsu pecahan Rp 100.000 dan dua lembar 10.000 Dolar Singapura palsu. “Uang palsu 319 lembar dari SH ini dibeli dari RS seharga Rp 5 juta,” terangnya.
Dari penangkapan SH dan RS ini, polisi kembali mengamankan sembilan tersangka lainnya, yaitu; BH (32) asal Lamongan; HS (55) asal Situbondo; S (70) juga dari Situbondo; KW (57) asal Jember; AS (38) juga Jember; SY (53) asal Ngawi, SN (35) asal Klaten, Jawa Tengah; MJS (50) asal Madiun, SR (49) juga asal Madiun. Sementara dua tersangka lainnya, yaitu ER dan AGS masih buron.
Barang bukti uang palsu ini, beredar secara berantai dari satu tersangka ke tersangka lainnya. Total uang palsu yang diamankan polisi senilai Rp 31.900.000 dan 280.000 Dolar Singapura yang jika dikurskan, total senilai sekitar 2,5 miliar.
“11 tersangka yang sudah kita amankan ini, satu di antaranya perempuan,” ucap Rudi.
Selanjutnya, para tersangka akan dijerat Pasal 245 KUHP jo Pasal 36 ayat (2) dan (3) Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 10 miliar.
Sumber: Merdeka