Belakangan publik sempat dihebohkan dengan kabar pembebasan tanpa syarat terpidana kasus terorisme Ustaz Abu Bakar Ba’asyir karena alasan kemanusiaan. Bebas tanpa syarat merupakan kebijakan presiden, sedangkan bebas bersyarat merupakan kewenangan menteri.
Banyak suara mempertanyakan karena pentolan Pondok Pesantren Ngruki, Solo itu menolak untuk menandatangani syarat setia kepada Pancasila. Akhirnya melalui Menteri Koordinasi Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, pemerintah mengatakan bahwa sedang mengkaji kembali rencana presiden untuk membebaskan Ba’asyir.
Berbeda dengan Ba’asyir, terpindana kasus Bank Century, Robert Tantular sudah lebih dulu bebas dari penjara. Bebasnya Robert sejak Juli 2018 mengundang kontroversi karena sampai sekarang kasus Bank Century masih belum selesai.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan sudah menyatakan bahwa penanganan Bank Century terus berjalan dan menduga ada keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus ini. Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, sempat mengatakan bahwa ada kemajuan dari kasus korupsi pemberian fasilitas pinjaman jangka panjang (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bak gagal berdampak sistemik
Kembali ke Robert, dirinya mendapat remisi yang cukup besar, lebih dari 74 bulan dari total hukuman 21 tahun. Jenis remisi yang diperoleh Robert cukup beragam, dari mulai remisi ulang tahun kemerdekaan, remisi hari besar keagamaan, remisi pemuka agama, hingga remisi kemanusiaan.
Robert dianggap mendapat hak bebas bersyarat karena sudah menjalani 2/3 masa hukuman. Namun, Robert masih harus menjalani wajib lapor sampai masa pidananya selesai, yaitu 2024 mendatang. Jika dalam masa wajib lapor tersebut Robert kembali melanggar hukum, dia bisa kembali mendekam di sel untuk menjalani sisa masa hukuman.
KPK sempat heran dengan pembebasan bersyarat Robert, padahal dirinya sudah merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah. Desember 2018, KPK mengajukan surat pencegahan ke luar negeri untuk Robert. Langkah ini dilakukan untuk mempermudah penyelidikan kasus yang sudah lebih dari satu dasawarsa itu bergulir.
Sejauh ini KPK juga sudah melakukan pemeriksaan terhadap mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Boediono; Mantan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S. Goeltom; Komisaris Bank Mandiri, Hartadi Agus Sarwono; dan Deputi Gubernur BI Bidang IV Pengelolaan Moneter dan Devisa, Budi Mulya. Hingga kini Budi masih menjalani masa hukumannya di Lapas Sukamiskin.
Otak Pembunuhan Berencana
Pemerintah juga memberikan grasi kepada terpidana otak pembunuhan wartawan Radar Bali, I Nyoman Suasrama. Seperti diketahui, Suasrama adalah terpidana dari pembunuhan berencana wartawan Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra, pada 2009.
Semula Suasrama dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Mahkamah Agung (MA). Namun, lantaran mendapat grasi dari presiden, hukuman berubah menjadi 20 tahun penjara.
I Made Suardana, tim kuasa hukum yang ikut mengawal kasus ini, mengaku terkejut. Pasalnya, jika ada perubahan dari pidana seumur hidup ke pidana biasa, tidak menutup kemungkinan akan ada remisi atau pengurangan hukuman ke depannya. Pemberian grasi untuk Suasrama dinilai mencederai hukum di Indonesia. Kasus pembunuhan ini sempat menarik perhatian karena cukup rumit untuk dipecahkan oleh kepolisian.
Banyak pihak yang menyayangkan kebijakan grasi Presiden Jokowi. Apalagi bila menyangkut terpidana kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik. Jokowi seharusnya lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan karena bisa mengikis rasa keadilan di masyarakat.
Kendati keputusan pemberian grasi tersebut tidak terkait politik, tetapi bisa merusak kepercayaan masyarakat. Kebijakan ini berpotensi menurunkan elektabilitas Jokowi dan menaikkan angka golput sehingga tidak menutup kemungkinan bisa menggerus perolehan suara sang petahana dalam pemilihan presiden mendatang.