Kini banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan nonpertanian. Salah satu tujuan utama reformasi di bidang agraria adalah menata struktur ketimpangan lahan untuk menaikkan kesejahteraan petani, dengan mengembalikan tanah pada hakikatnya, yakni sebagai alat produksi pertanian.
Sensus Pertanian 2013 menyatakan bahwa lahan pertanian di Indonesia hilang 0,25 hektare per menit. Jika 0,25 hektare lahan itu dikonveksi oleh satu rumah tangga petani, akibat konveksi lahan, secara kalkulatif, ada satu rumah tangga petani yang kehilangan sumber penghidupan setiap menitnya.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 menunjukkan, penduduk miskin Indonesia berjumlah 30,02 juta jiwa atau 12,49% dari total penduduk. Hampir 19 juta penduduk miskin itu berada di pedesaan dan sebagian besar adalah petani.
Karena itu, reformasi agraria seharusnya menjadi secerah harapan bagi petani. Reformasi agraria diharapkan menjadi instrumen mempersempit ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan yang terjadi sejak zaman dahulu.
Lalu, bagaimana jalannya reformasi agraria di Indonesia? Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengeluarkan konsep reformasi agraria dengan melakukan legalisasi aset dan redistribusi lahan atau disebut tanah objek reformasi agraria (TORA).
Ada beberapa poin yang bisa dicermati. Pertama, meningkatkan kepastian hukum atas tanah. Kedua, meningkatkan kepastian ketersediaan tanah bagi kepentingan umum. Ketiga, meningkatkan pelayanan pertanahan. Keempat, memperbaiki porsi kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah.
TORA dicanangkan untuk lahan seluas 9 juta hektare, yang terdiri atas 4,5 juta hektar untuk legalisasi aset dan 4,5 juta redistribusi lahan. Legalisasi aset terdiri atas 0,6 juta hektare untuk legalisasi aset masyarakat, sedangkan redistribusi lahan terdiri atas 0,4 juta hektare tanah telantar dan 4,1 juta hektare tanah pelepasan tanah kawasan hutan.
Namun, dalam realisasinya, TORA hanya sebatas masalah legalisasi aset saja, dan proses tersebut tak lain hanyalah kewajiban dan kegiatan rutin Kementerian ATR/BPN. Masalah agraria jauh lebih luas dari sekadar legalisasi aset dan sertifikasi lahan karena konsep land reform di seluruh dunia adalah land to the farm, alias tanah untuk pertanian. Konsep TORA dan implementasinya belum menyentuh ekonomi pertanian secara riil.
Dasar persoalan dan konsep land reform harus benar-benar dipahami. Bisa jadi konsep TORA mungkin akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dapat membuat produktivitas pertanian tertinggal. Lahan pertanian dan petani adalah posisi strategis dalam pemenuhan kebutuhan pangan.
Karena itu, program reforma agraria semestinya bisa memacu naiknya kesejahteraan petani. Bila selesai di subjek, berarti hanya sampai redistribusi lahan untuk pertanian. Tidak boleh berhenti di situ saja, selanjutnya harus masuk ke objek, yakni reforma agraria juga disertai program penunjang, seperti penyuluhan dan pendidikan tentang teknologi produksi, pemasaran, dan perkreditan.
Kedaulatan petani mungkin akan menemui setitik harap, andai program TORA yang digulirkan pemerintah fokus pada masalah fundamental sesuai tatanan ideal land reform, yaitu redistribusi lahan, mengembalikan, serta menjaga tanah pertanian. Mengurangi angka kemiskinan sebagian besar petani di pedesaan, bukan dengan memaksa mereka beralih ke sektor nonpertanian, tetapi memperhatikan dan mendukung penuh apa yang mereka kerjakan, dalam upaya memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia akan pangan.