Banyuwangi – Pengajian tak hanya dilakukan di pondok pesantren, masjid, mushala. Namun juga bisa dilakukan cafe-cafe. Seperti yang dilakukan “santri cafe” yang menamakan dirinya Ashabul Cafe. Yaitu komunitas anak muda yang melakukan aktivitas mengaji dari cafe ke cafe.
Diskusi yang digelar Ashabul Cafe sendiri merupakan kajian rutinan yang digelar setiap Selasa malam. Diikuti oleh anak-anak muda yang digelar dari cafe ke cafe. “Kegiatan ini telah berlangsung selama dua tahun,” terang pegiat Ashabul Cafe, Fahmi Nuris Syafaat, kepada detikcom, Rabu (25/10/2017).
Tujuan dari Ashabul Cafe ini, sebenarnya ingin mengakrabkan anak-anak muda pada kajian keagamaan. “Biasanya anak muda itu rikuh mau ikut pengajian, karena kesannya kaku dan orang tua banget. Maka, kita mencoba membuat forum pengajian yang lebih anak muda,” ungkap Fahmi.
Kajian yang dibahas selain diskusi tematik yang up to date, juga ada kajian kitab Bulughul Maram dan Risalatul Mahid. Dua kitab tersebut mengkaji tentang hukum fiqih keseharian. “Dua kitab ini, sengaja dipilih karena berkaitan langsung dengan permasalahan keagamaan anak muda,” pungkas Fahmi.
Untuk memperingati Hari Santri Nasional (HSN), mereka menggelar diskusi bertajuk ‘spirit santri meneguhkan NKRI’, di Cafe Heatly, Genteng, Selasa (24/10) malam.
Santri, dalam diskusi tersebut, tidak hanya dipahami dalam konteks santri pesantren. Tapi lebih dari pemaknaan santri sebagai kata kerja. “Santri tak sebatas pada kata benda, tapi lebih pada kata kerja. Jadi, santri tidak hanya dilihat secara definitif, tapi harus dilihat bagaimana sikap personal dari santri itu sendiri,” ungkap Founder Komunitas Pegon Ayung Notonegoro yang menjadi pembicara utama.
Santri sebagai kata kerja, lanjut Ayung, adalah konteks yang tepat dalam membincang spirit santri. “Memahami spirit santri harus dipahami dalam tiga aspek. Mulai dari sisi tata krama, keilmuwan maupun sikap sosial kemasyarakatan,” papar Ayung.
Dalam tiga aspek dari spirit santri itu, adalah modal penting bagi kaum santri untuk meneguhkan nilai-nilai nasionalisme dan mensejahterakan NKRI. “Di tengah liberalisasi gaya hidup, tata krama ala santri menjadi gerakan yang solutif. Di tengah budaya keilmuwan instan dalam bidang keagamaan yang melahirkan radikalisme, keilmuwan agama pesantren menawarkan kedalaman yang mewujud kearifan. Begitupula di saat kesenjangan ekonomi yang akut, sikap pesantren yang mengajarkan kemandirian, kesederhanaan dan gotong royong menjadi jangkar pengaman,” jelasnya panjang lebar.
Lebih lanjut, Ayung menegaskan, sikap santri yang demikian harus terus digelorakan di tengah masyarakat. “Jika kalian melakukan itu, tak peduli kalian pernah mondok dimana, pasti kalian akan tetap dinyatakan sebagai santri,” cetusnya.
(fat/fat)