Saya termasuk yang menyimak betul upaya Pemkot Surabaya mewujudkan impiannya sebagai Kota Ramah Anak. Namun sosok Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menurut saya terlalu sentral.
Dibutuhkan kemampuan mengimplementasi apa yang diimpikan Risma. Akan lebih baik jika upaya menciptakan kota ramah anak itu lahir dari bawah.
Saya melihat dari sisi penghargaan yang diperoleh, Surabaya secara administratif sudah ditetapkan sebagai kota layak anak. Apalagi Risma juga turun langsung. Namun ini dari sisi simbol. Bukan implementasi.
Persoalannya adalah di tingkat implementasi kadang – kadang masih jauh dari kesan ramah anak.
Misalnya di dunia pendidikan masih banyak kekerasan seksual terhadap anak. Yang paling mengagetkan adalah terjadi di sebuah SD swasta dengan pelaku adalah gurunya.
Ini membuktikan masih seringnya lingkungan sekolah menjadi tempat berlangsungnya kekerasan, baik itu yang dilakukan oleh orang dewasa maupun sesama anak.
Ini menunjukkan lingkungan sekolah kita masih belum ramah menjadi rumah bagi anak.
Tidak hanya itu, selama ini masih terjadi pengeluaran anak dari sekolah akibat anak dianggap melanggar peraturan.
Dalam pelaksanaan kota layak anak diatur mekanisme penanganan yang berpihak pada kepentingan terbaik untuk anak.
Belum lagi masih seringnya pemkot menutup perizinan sekolah. Padahal sekolah itu bagian dari komitmen pemerintah kota melayani hak dasar hak pendidikan anak.
Data terkahir misalkan kekerasan yang terjadi di SD yang baru – baru ini. Bahkan muncul kekerasan antarpelajar di sebuah SMPN di Surabaya.
Belum lagi “penelantaran Dana Bopda” pendidikan anak anak SMA, SMK, dan MA akibat peralihan kewenangan. Bukan kemudian dibiarkan dan diperdebatkan di persoalan administrasi kewenangannya.
Seharuanya Pemkot Surabaya berupaya mencari jalan keluar sebagai bagian dari layanan. Bukanka anaki-anak itu meski sudah SMA, SMK, dan MA mereka juga anak-anak Surabaya. Mereka mempunyai hak yang sama dengan anak-anak lainnya.
Fasilitas umum kita, semacam trotoar juga sudah bagus. Tapi belum ramah karena terkesan membahayakan bagi kelompok disabilitas.
Kini Pemkot Surabaya mengampanyekan Kota Raman Anak. Semua secara seremonial dilibatkan hingga Wali Kota Risma turun jalan.
Sayang sekali secara kebijakan sudah ada tapi ketika sudah sampai pada tingkat implementasi terlihat masih kedodoran.
Dinas terkait harus tanggap dan melakukan aksi riil di lapangan. Mulai Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak dan Perempuan, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial.
Kemudian Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Harmonisasi antar-SKPD ini sangat lemah sehingga terkesan menunggu dan jalan sendiri-sendiri.
Gagasan pemerintah kota yang akan menjadikan Surabaya dan khusunya Balai Pemuda sebagai laboratorium kebudayaan, menunjukkan adanya niat baik. Sayang sampai saat ini masih belum terlihat tindak lanjutnya
Ini muncul Gagasan pemasangan CCTV di setiap sekolah. Menurut saya ini merupakan bukti bahwa pendidikan kita lemah dalam membangun karakter anak- anak yang bertanggung jawab.
Semestinya penguatan pendidikan lebih serius dilakukan dengan tahapan dan program kegiatan yang terstruktur dan terukur.
Misalnya sekolah bisa membuat program pembiasaan bertanggung jawab terhadap diri dan orang lain.
Sekolah bisa mengajak anak- anak membiasakan mengucapkan “terima kasih” kepada siapa pun yang dianggap berjasa.
Ucapannya memang biasa, tetapi di sana terkandung makna menghargai dan mengapresiasi dan menghormati orang lain.
Kecerdasan menghargai dan mengapresiasi serta menghormati orang lain menunjukkan bahwa kita butuh orang lain. Perasaan membutuhkan orang lain akan menjadikan anak-anak akan berlaku baik dan santun.
Kalau itu bisa dijalankan, maka kekerasan bisa dicegah. Antar siswa dan kepada guru akan saling menghargai.
Tinggal jika ancaman datang dari luar lingkungan sekolah baru Pemkot Surabaya memainkan perannya.
Source: Surya