Tanggal 20 Oktober lalu polisi menemukan sejumlah besar bom bensin dan kaleng-kaleng cat dalam kendaraan dengan tujuh kursi penumpang di Jalan Lo Fai di Tai Po pada malam hari pukul 12.30. Sebanyak 42 bom bensin, dua obor, dan bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bola cat ditemukan di dua kendaraan. Polisi juga mengamankan 16 kaleng cat, 5 botol Turpentine, masker, sarung tangan karet, saline, 3 walkie talkie, dan sekotak paku yang diduga akan digunakan untuk mengempeskan ban kendaraan.
Polisi menangkap dua pengemudi berusia 31 dan 34 tahun karena memiliki senjata ofensif. Polisi mencurigai dua kendaraan ini tengah digunakan untuk mengangkut senjata ke berbagai zona demonstrasi yang akan digunakan oleh para perusuh.
Kemudian pada 21 Oktober 2019, MTR mengumumkan bahwa Stasiun West Rail Line Yuen Long akan ditutup mulai jam 2 siang hingga waktu yang belum ditentukan. Para penumpang disarankan untuk menggunakan transportasi lain.
Sepanjang dimulainya demonstrasi menentang terbitnya RUU tentang Ekstradisi, Juni lalu, para perusuh sudah menghancurkan dan merusak stasiun MTR, bank-bank, dan sejumlah toko. Bom bensin dilemparkan ke berbagai lokasi dan menyebabkan kebakaran. Kendaraan meriam air dan kendaraan lapis baja digunakan oleh polisi antihuru-hara untuk memulai pembersihan di berbagai distrik sementara meriam air pewarna biru yang tak terhapuskan dikerahkan di beberapa lokasi.
Sekitar tengah malam, seorang petugas polisi antihuru-hara tiba-tiba melemparkan tabung gas air mata di depan sekitar 20 wartawan di dekat Sino Center di Mong Kok. Kepala seorang reporter wanita terkena lemparan oleh tabung gas air mata, tetapi untungnya dia tidak mengalami cedera apa pun karena dia mengenakan pelindung kepala. Sekitar jam 1 pagi, masih ada beberapa pengunjuk rasa yang berkumpul di persimpangan Argyle Street dan Nathan Road.
Sekitar pukul 2, pengunjuk rasa meninggalkan stasiun MTR Pangeran Edward dan dua warga sipil terlihat membersihkan puing-puing yang ditinggalkan mereka.
Pada jam yang sama, alarm kebakaran di cabang restoran Yoshinoya di Nathan Road berbunyi. Petugas pemadam kebakaran bergegas ke tempat kejadian dan menemukan 3 pria Asia Selatan bersenjatakan pisau menggeledah restoran. Mereka berhasil melarikan diri dari tempat kejadian sebelum polisi datang. Beberapa saat kemudian, polisi antihuru-hara tiba di lokasi dan menutup area tersebut. Tidak ada yang ditangkap dan belum diketahui kerugian akibat pembobolan.
Hipokrisi Barat
Pemerintah Cina dan media yang dikelola pemerintah menuduh negara-negara Barat munafik dalam sikap mereka terhadap protes kekerasan di Spanyol, Chile, dan Hong Kong selama beberapa waktu terakhir.
Beberapa artikel mengatakan bahwa demonstrasi di Eropa dan Amerika Selatan adalah akibat langsung dari toleransi negar Barat terhadap kerusuhan Hong Kong.
Berbicara kepada wartawan pada Senin malam, juru bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying mengatakan bahwa tanggapan oleh negara Barat terhadap protes menunjukkan “demokrasi dan hak asasi manusia hanyalah alasan yang dipakai oleh negara Barat untuk campur tangan mereka dalam urusan Hong Kong.”
“Semakin banyak orang menyadari bahwa hak asasi manusia, demokrasi, dan pemandangan indah yang diberitakan oleh beberapa politisi Barat hanyalah ilusi sebagai fatamorgana di padang pasir,” katanya.
Dalam sebuah komentar yang diterbitkan di Beijing News yang dikelola pemerintah pada hari Minggu, mantan diplomat Cina Wang Zhen menulis “dampak bencana dari ‘kekacauan Hong Kong’ telah mulai memengaruhi dunia Barat.”
Selama sepekan terakhir, pengunjuk rasa bentrok dengan pihak berwenang di tiga lokasi karena alasan berbeda, media pemerintah Cina menuduh bahwa demonstrasi di Chile dan Spanyol menjadi inspirasi kerusuhan Hong Kong.
Protes Hong Kong menjadi semakin merusak dalam sebulan terakhir, dengan vandalisme yang meluas. Merusak toko-toko dianggap sebagai tindakan pro-Beijing selama demonstrasi.
Menurut Wang, pengunjuk rasa di Spanyol mulai mengadopsi taktik Hong Kong, termasuk slogan “Be Water” untuk menghindari kejaran polisi.
Di Chile, kalangan militer mengeluarkan jam malam di Ibu Kota Santiago setelah demonstrasi yang berkepanjangan terhadap kenaikan biaya transportasi umum. Tiga orang tewas dalam kebakaran supermarket di kota itu pada hari Minggu.
Dan pada hari yang sama, sebuah editorial di tabloid milik pemerintah Global Times menuduh demonstran Hong Kong “mengekspor revolusi ke dunia.”
“Barat membayar harga untuk mendukung kerusuhan di Hong Kong, yang dengan cepat mengobarkan kekerasan di bagian lain dunia dan meramalkan risiko politik yang tidak bisa dikelola Barat,” kata editorial itu.
Amerika Serikat telah berulang kali menyuarakan dukungan bagi para pengunjuk rasa Hong Kong, hingga menyulut kemarahan pemerintah Cina. Pada 14 Oktober, Dewan Perwakilan Rakyat AS bahkan mengeluarkan undang-undang mendukung para aktivis Hong Kong.
Dalam editorial video yang diposting ke Twitter resmi Global Times pada 17 Oktober, editor Hu Xijin menyarankan protes dapat menyebar ke seluruh negara Barat. “Ada banyak masalah di Barat dan semua jenis ketidakpuasan yang tersembunyi. Banyak dari mereka akhirnya terwujud dalam cara protes Hong Kong,” katanya.
Kemudian ada serangkaian serangan berdarah terhadap pendukung propengunjuk rasa dan pro-Beijing di Hong Kong bulan ini. Pada 12 Oktober, seorang petugas polisi disayat lehernya saat berjalan melalui stasiun kereta bawah tanah, yang mengarah pada dua penangkapan. Dia dibawa ke rumah sakit, dan sekarang dalam kondisi stabil.
Dalam komentar yang dipublikasikan di People’s Daily, corong resmi Partai Komunis Cina, akademisi Universitas Fudan Shen Yi menuduh negara-negara Barat menerapkan “standar ganda” dalam menyikapi unjuk rasa di negara lain.
“Kami masih ingat bahwa orang-orang tertentu di Barat menyebut demonstrasi besar di Hong Kong ‘pemandangan yang indah untuk dilihat’,” tulis Shen, sebelum bertanya apakah para komentator yang sama itu akan mendukung protes Catalan.
“Jika tidak, mereka menerapkan standar ganda untuk masalah Hong Kong dan Catalonia.”
Dalam sebuah opini terpisah yang diterbitkan di People’s Daily pada Jumat, Wang, mantan diplomat itu, bertanya mengapa para pemrotes Hong Kong digambarkan sebagai “pejuang kemerdekaan dan demokrasi,” sedangkan di Spanyol para demonstran Catalan disebut sebagai “separatis.”
Kelompok Black Bloc Hong Kong
“Jika kami terbakar, Anda terbakar bersama kami. Kita hancur bersama-sama.” (Lam chao)
Slogan tersebut kini terus disuarakan oleh Black Bloc Hong Kong – gerombolan yang terhubung dengan para demonstran baju hitam – tertulis di dinding di Kowloon.
Mengurai slogan-slogan sangat penting untuk memahami kekerasan yang terus dilakukan bahkan sebelum UU tentang Larangan Pemakaian Masker disahkan oleh pemerintah Daerah Administratif Khusus (SAR) mulai berlaku pada tengah malam pada hari Jumat, 4 Oktober.
Kini situasi telah berubah secara dramatis dari awal musim panas demonstrasi tanpa kekerasan. Black Bloc melihat intervensi kekerasan sebagai satu-satunya cara untuk mencapai tujuan mereka.
Bagi Black Bloc, pembakaran adalah tentang mereka – bukan Hong Kong, kota, dan para pekerja keras di sana.
Kekakuan kognitif adalah eufemisme ketika diterapkan pada aturan massa, dasarnya adalah sekte keagamaan. Bahkan, tidak pernah ada harapan untuk mencoba memulai diskusi yang beradab dengan kelompok ini. Pemerintah Hong Kong yang kini lumpuh setidaknya berhasil mendefinisikan mereka secara tepat sebagai perusuh yang telah menjerumuskan salah satu kota terkaya dan sejauh ini disebut sabagai yang teraman di planet ini ke dalam ketakutan dan kekacauan dan melakukan kekejaman yang jauh melampaui batas bawah dari masyarakat beradab.
“Revolusi di Hong Kong”, slogan yang lebih disukai sebelumnya, kini menjadi utopis karena nilai-nilai demokrasi telah hancur akibat perusakan-perusakan masif, pelemparan bom bensin ke petugas polisi; dan memukuli warga yang tidak mengikuti arahan mereka. Mengikuti aksi ketika geng-geng ini mengamuk di Central dan Kowloon, dan juga di RTHK, yang disiarkan secara real-time, adalah pengalaman yang menakutkan.
Sebuah sketsa telah menggambarkan profil dasar dari ribuan demonstran muda di jalan-jalan yang didukung penuh oleh sekelompok guru, pengacara, hakim, pegawai negeri sipil dan profesional liberal yang diam-diam mengabaikan semua tindakan perusakan dan kekerasan, asalkan mereka antipemerintah.
Namun, pertanyaan kunci harus fokus pada Black Bloc, aturan mereka tentang taktik menyerang, dan siapa yang membiayainya. Sangat sedikit orang di Hong Kong yang bersedia mendiskusikannya secara terbuka.
Faktanya, mulai dari anggota klub sepak bola Hong Kong, pengusaha, penikmat seni, dan kelompok media sosial yang terinformasi, sangat sedikit orang di Hong Kong — atau di seluruh Asia dalam hal ini — tahu apa dan siapa itu kelompok Black Bloc.
Black Bloc boleh jadi bukan gerakan global; mereka adalah taktik yang dikerahkan oleh sekelompok pemrotes – meskipun kaum intelektual bermunculan sebagi buntu dari anarkisme Eropa yang bertebaran di Spanyol, Italia, Prancis, dan Jerman sejak pertengahan abad ke-19.
Taktiknya cukup sederhana. Anda berpakaian hitam, memakai topeng ski atau balaclava, kacamata hitam, atau helm sepeda motor. Sebisa mungkin lindungi diri dari semprotan merica dan atau gas air mata, Anda menyembunyikan identitas dan melebur ke kerumunan. Anda bertindak sebagai penghambat, biasanya beberapa puluh, kadang beberapa ratus. Anda bergerak cepat, mencari dan menghancurkan, lalu membubarkan, menyusun kembali, dan menyerang lagi.
Sejak awal, sepanjang 1980-an, terutama di Jerman, ini adalah semacam taktik gerilya perkotaan infark anarkis yang digunakan untuk melawan ekses globalisasi dan juga terhadap kebangkitan fasisme kripto.
Namun, ledakan media global Black Bloc hanya terjadi lebih dari satu dekade kemudian, dalam pertempuran Seattle yang terkenal pada 1999, selama konferensi tingkat menteri WTO. KTT WTO runtuh dan keadaan darurat diberlakukan selama hampir satu minggu. Yang terpenting, tidak ada korban, bahkan ketika Black Bloc membuat diri mereka dikenal sebagai bagian dari kerusuhan massa yang diorganisasi oleh kaum anarkis radikal.
Perbedaan yang tampak jelas di Hong Kong Black Bloc telah diinstrumentasi untuk agenda pencarian dan penghancuran yang terang-terangan. Debat terbuka tentang apakah taktik Black Bloc dikerahkan secara acak, hanya berfungsi untuk melegitimasi aktivitas. Yang jelas, menghancurkan stasiun kereta bawah tanah yang digunakan sebagai transportasi publik tidak dapat disamakan dengan mendukung demokrasi.
Dengan kelompok Black Bloc terus mendominasi aksi-aksi kekerasan dan perusakan di Hong Kong, jelaslah sudah bahwa kelompok antipemerintah itu telah mendeklarasikan perang, alih-alih mendukung gerakan demonstran yang sebelumnya diklaim berlangsung damai, apalagi memperjuangkan Hong Kong menuju demokrasi.