Tiga bulan menjelang pemilihan umum (pemilu) semakin banyak orang atau kelompok yang menyatakan diri golput, akronim dari golongan putih. Golput adalah istilah politik di Indonesia merujuk pada sekelompok orang atau individu yang memiliki hak pilih, tetapi secara sadar memilih untuk tidak menggunakannya.
Golput bukan pertama kali ada di Indonesia. Sudah ada sejak 1971, ketika digelarnya pemilu pertama di era Orde Baru. Istilah golput dipakai karena gerakan ini menganjurkan untuk mencoblos bagian putih di kertas surat suara atau di luar gambar parpol.
Angka golput di setiap pemilu terus meningkat. Pemilu pertama pasca reformasi, tahun 1999, jumlah keikutsertaan pemilih memang sangat tinggi, mencapai 99 persen. Namun, setelah itu angka golput terus meningkat dan tidak pernah kurang dari angka 15 persen. Dalam pemilu legislatif (pileg) 2004, jumlah golput mencapai 15,9 persen, kemudian meningkat pada pemilu presiden (pilpres) putaran pertama dan kedua, masing-masing 21,8 dan 23,4 persen.
Angka golput juga merangkak naik pada pileg 2009 yang mencapai 29,1 persen. Dalam pilpres tahun yang sama, angka golput mencapai 28, 3 persen. Angka golput menurun dalam pileg 2014, yaitu 24,89 persen, tetapi justru melonjak saat pilpres, yaitu lebih dari 30 persen dari jumlah pemilih.
Bisa Bertambah
Tidak menutup kemungkinan angka golput masih besar pada pemilu ini. Mereka yang memutuskan untuk golput mengaku kecewa atas dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pilpres 2019.
Kendati masih menempati posisi atas, elektabilitas Jokowi–Ma’ruf Amin cenderung stagnan, yaitu masih berada di angka 53,4 persen. Kubu 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Aga, di kisaran 34 persen. Masih tersisa 12,6 persen yang belum menentukan pilihan.
Angka golput masih bisa bertambah karena beberapa alasan. Di kubu petahana, misalnya, banyak pendukung yang kecewa ketika Jokowi memilih Ma’ruf sebagai calon wakil presiden. Kekecewaan itu terutama menghinggapi Jokower yang juga Ahokers, mengingat kesaksian Ma’ruf yang memberatkan Basuki Tjahaja Purnama atas kasus penistaan agama yang membuatnya harus berakhir di penjara.
Rekam jejakMa’ruf di bidang intoleransi dinilai rendah. Inilah yang membuat swing voters berpotensi memutuskan untuk golput. Indikator dari rendahnya intoleransi Ma’ruf antara lain pendapat kontroversialnya bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Ma’ruf juga vokal terhadap keputusan fatwa hak-hak minoritas termasuk kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Jokowi diprediksi bisa kehilangan suara dari kelompok minoritas, nasionalis pluralis, dan juga generasi milenial. Mereka bisa jadi apatis, malas mengikuti kampanye dan ingar bingar pilpres 2019, termasuk juga malas untuk ikut mencoblos.
Lain halnya dengan pemilih dari kubu Prabowo-Sandi yang bisa dibilang merupakan pemilih loyal dan bukan berasal dari kaum minoritas ataupun nasionalis pluralis. Sebagian generasi milenial tidak menutup kemungkinan mengarahkan pilihan ke pasangan Prabowo-Sandi.
Tidak Ada Larangan
Kendati Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengimbau para pemilih untuk menggunakan hak pilih, tidak ada larangan untuk menjadi golput. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mengatur tentang larangan menjadi golput, seperti disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Kontras, LBH Jakarta, Law and Human Rights Office (Lokataru), dan Pusat Pengembangan Hukum dan Bisnis Indonesia (PHBI).
Menjelang penyelenggaraan pilpres 2019, Koordinator Advokasi LBH Masyarakat, Afif Abdul Qoyim, menyatakan bahwa ada tiga peluang penyebab golput. Pertama, situasi tidak adanya pilihan karena pasangan calon hanya dapat diusulkan oleh parpol. Kedua, parpol dibentuk atas dasar modal besar. Ketiga, kedua kandidat calon presiden dan wakil presiden tidak mewakili aspirasi bebas politisasi agama.
”Maka tidak memilih salah satu pasangan calon adalah suatu pilihan dan keniscayaan dalam demokrasi,” kata Afif, seperti dikutip Republika.
Memang tidak ada larangan untuk golput, tetapi tetap ada untung rugi dalam kehidupan berdemokrasi. Keuntungannya, kita dapat mengekspresikan pendapat atau hak demokrasi sesuai hati nurani. Di sisi lain, bisa menyebabkan kerugian di kemudian hari jika calon yang menang dan memimpin negeri ini justru merugikan banyak orang.
Setiap orang punya hak untuk memutuskan. Kuncinya sekarang ada pada dua pasangan calon, apakah akan terus perang politik identitas, ataukah langsung merujuk pada visi dan misi yang nyata. Kita bisa berkaca pada debat presiden pertama yang digelar 17 Januari lalu, masih deras menuai kritik.
Peluang golput meningkat memang terbuka lebar, tetapi masih ada waktu untuk mengubahnya. Sebab jika angka golput naik, suara salah satu pasangan calon terancam tergerus.